Reuni Dalli
Iin Farliani
“Semoga rumah
tanggamu berantakan,” bunyi kalimat yang tertera pada surat. Dalli meremas
keras-keras surat itu lalu menjejalkannya ke dalam kaleng. Ini surat yang
kesebelas kalinya dan masih berisi pesan yang sama. Tertulis dalam tulisan
tangan yang rapi untuk sebuah surat yang berisi pesan menghantui itu. Dalli
memandang keluar ke arah gerbang. Barangkali orang yang melempar surat kaleng
ini masih menunggu di sana, melihatnya melalui celah yang tersembunyi untuk
mengetahui seperti apa reaksi Dalli setelah membaca surat itu. Dalli tiba-tiba teringat
Rere dan janji mereka bertemu dengan Vivi sore ini. Dalli masih ingat bagaimana
dia berusaha meyakinkan Rere bahwa pertemuan mereka nanti bersama Vivi akan
memberi pengalaman yang tak terduga. Tiga hari lalu, dia sudah mengatakan hal
ini melalui telepon.
“Bagaimana kalau dia tidak ingat?
Bagaimana kalau Vivi sudah melupakanku?” tanya Rere.
“Dia ingat! Ingat betul dirimu. Dia justru
bertanya padaku dan merasa cemas ‘Alangkah malunya! Tidak mungkin Rere
mengingatku. Kami sudah tidak bertemu selama sebelas tahun.’ Begitu katanya.”
“Ya. Sebelas tahun. Itu benar. Apa
yang diharapkan dari perjumpaan setelah berpisah selama sebelas tahun?” Suara
Rere terdengar lelah. Dalli bisa membayangkan di ujung telepon Rere sedang
bertopang dagu, mengernyitkan dahi sembari terus menimbang-nimbang apakah akan
mengiyakan saja tawaran Dalli.
“Kau malu. Vivi juga malu. Kalian
berdua sama-sama merasa malu. Tapi baiklah. Ini akan menjadi pertemuan yang
menarik. Sobat masa kecil yang berjumpa lagi setelah sebelas tahun. Aku sudah
tidak sabar untuk menantikannya.”
“Sepertinya pertemuan itu akan jadi
pertemuan yang penuh dengan suasana canggung. Aku tidak bisa lagi
membayangkannya,” seru Rere.
Dalli tersenyum. Dia senang
mendengar kekhawatiran Rere dan membayangkan kekhawatiran itu akan segera
tuntas bila menemukan kenyataan tentang pertemuan itu yang akan sangat berbanding
terbalik dengan perkiraan Rere sendiri. Dia benar-benar yakin.
“Karena itulah aku harus ikut. Aku
akan hadir di tengah pertemuan kalian. Ini akan menjadi pengalaman nostalgia
yang menyenangkan.”
Hening sebentar. Tidak ada jawaban
dari telepon. Rere tiba-tiba menyahut,
“Hei? Bagaimana dengan surat itu?”
“Surat?” Dahi Dalli berkerut
mendengar pertanyaan mendadak itu.
“Ya. Surat kaleng itu bagaimana?
Apakah kau sudah tahu siapa pengirimnya?”
Dalli terdiam. Suasana hatinya
mendadak berubah. “Tidak penting. Betul-betul tidak penting. Pengirimnya?
Memangnya siapa peduli? Paling-paling hanya orang yang tidak tahu cara
menghabiskan waktu luangnya. Orang yang terlalu memiliki banyak waktu luang
hingga harus berbuat iseng!”
Telepon ditutup setelah Rere
akhirnya menerima ajakan Dalli untuk bertemu Vivi. Mereka tiga kawan masa kecil
yang tumbuh bersama dan akan bertemu lagi dalam kesempatan yang benar-benar
dinantikan oleh siapa saja yang merindukan masa kecilnya.
Sebelum berangkat, Dalli teringat
pertanyaan Rere. Dia termenung di depan pintu. Ketika pertama kali menceritakan
pengalaman mendapat surat kaleng itu, Rere terus bertanya “Tidakkah kau ingin
tahu siapa pengirimnya?” Tapi lagi-lagi
Dalli hanya mengganggap itu sebagai perbuatan orang iseng. Di muka gerbang,
salah seorang tetangganya sedang berlari-lari kecil memutari jalan sempit yang
memisahkan rumah Dalli dengan rumah orang itu. Ia memberi sapaan hangat pada
Dalli. Dalli membalas dengan memberi anggukan ramah. Tiba-tiba orang itu
bertanya, “Bagaimana Dalli? Apa istrimu sudah kembali?”
Dalli tiba di restoran, tempat dia akan
bertemu Rere dan Vivi. Dia segera masuk. Mendadak langkahnya terhenti. Dia terkejut
melihat Rere dan Vivi sudah duduk satu meja. Mereka terlihat sedang
membicarakan sesuatu sambil sesekali tertawa kecil. Mereka juga terkejut ketika
menoleh bersamaan ke arah Dalli yang tengah berdiri menjulang di hadapan meja
mereka. Mereka berseru riang menyambut Dalli.
Dalli memberikan tepukan pada
buku-buku jari kedua kawan perempuannya secara bergiliran. Salam keakraban yang
dahulu sering mereka lakukan ketika masih kecil. Tetapi rupanya hanya Dalli yang
masih mengingat bentuk salam itu sebab Rere dan Vivi tampak kebingungan sampai
mereka akhirnya mengikuti gerakan tangan Dalli. Dalli kemudian memutuskan untuk
keluar sebentar menemui kawannya yang berkantor tak jauh dari restoran. Sebenarnya
itu hanya alasannya saja. Dia tak ingin mengganggu pertemuan dua sobat itu.
Seperti apa yang terjadi pada pertemuan itu, segalanya hanya ingin dia saksikan
secara diam-diam dari luar restoran yang sebagian besar pemandangan di dalamnya
bisa dilihat melalui dinding berkaca.
“Sejak pertama aku tiba di kota ini,
hal pertama yang ingin kulakukan adalah mencarimu secepatnya. Aku harus bertemu
Rere, begitu pikirku. Tapi aku tidak tahu harus bertanya kepada siapa. Sampai
akhirnya aku bertemu Dalli. Dalli meyakinkanku. Rere masih mengingatmu, begitu
katanya. Meski waktu itu aku sendiri tidak yakin.” Vivi berhenti sebentar.
Merapikan ujung-ujung lengan bajunya. Ia terlihat gugup. “Bibiku masih punya
ikatan kekerabatan dengan ayahnya. Itulah mengapa Dalli cepat menemuiku. Oh,ya.
Bagaimana dengan keluargamu, Rere? Apakah mereka sehat? Sampaikan salamku untuk
mereka.” Vivi tersenyum lebar.
“Tidak mungkin aku melupakanmu. Kita
dulu pernah bermain surat-suratan. Berperan sebagai sahabat pena satu sama
lain. Padahal rumah kita hanya berjarak tiga kilometer. Apa kau ingat? Aku
mengantar surat-surat itu dengan menaiki sepeda torpedo warna merah milik
ayahku. Sepeda yang sering aku bandingkan dengan sepeda keranjang berlonceng
milikmu. Keluargaku? Mereka sehat. Tentu saja. Aku akan menyampaikan salammu.
Pasti sulit dipercaya bagi mereka si Vivi telah kembali ke kota ini.”
Vivi tertawa. “Tentu saja aku
mengingatnya. Surat-surat itu. Permainan sebagai sahabat pena! Bukankah dulu
aku mengantarnya juga menggunakan sepedaku. Oh sudah lama sekali. Berapa tahun
itu? Belasan tahun yang lalu. Benar-benar sulit diduga. Tahu-tahu kita telah dewasa.”
“Ya. Kita telah dewasa seperti ini.
Aku juga sulit percaya. Waktu begitu cepat berlalu.” Rere tiba-tiba termenung.
Ia menunduk, memainkan sedotan limun dalam gelas jus alpukatnya lalu
menyeruputnya perlahan-lahan.
Di seberang meja, Vivi juga terdiam
sebentar. Menggoyangkan sedikit jus apelnya, tapi tidak meminumnya.
“Telah berlalu sebelas tahun. Memang
aneh kalau diingat-ingat. Aku pulang ke pulau seberang saat usiaku masih
remaja. Apa kau ingat Rere? Aku pulang ke desa orangtuaku yang letaknya sangat
jauh dari sini. Menempuh perjalanan jauh dengan kapal. Aku tidak tahu apa pun
saat itu. Tak banyak yang bisa kumengerti.”
Rere terperangah. Ia seperti
dilempar pada ingatan yang sebelumnya terkubur dalam kotak hitam, tak tersentuh
dan seakan hanya pada kekelaman tertentulah kotak hitam ingatan itu akan terbuka.
Memunculkan perasaan yang dingin sekaligus ganjil. Ia tiba-tiba merasa tidak
enak hati sesudah menyadari kenyataan bahwa setelah kepulangan Vivi dan keluarganya
ke kampung halaman nun jauh itu, secara beruntun nasib buruk menimpa keluarga
Vivi. Mula-mula ibunya meninggal karena penyakit gula. Tak lama berselang, adiknya
yang juga mewarisi penyakit itu pun meninggal. Ayahnya pun tak kuat menanggung
duka. Selang beberapa tahun kemudian, ayahnya meninggal disebabkan derita sakit
yang sama.
Padahal mereka bermaksud pulang ke
tanah kelahiran untuk menempuh hidup yang lebih baik sekaligus memperpanjang
usia dengan melakukan serangkaian pengobatan alami yang dirasa perlu untuk mengurangi
dampak penyakit gula yang hendak menggerogoti nyawa mereka. Satu ingatan lagi
melompat keluar dari kotak hitam Rere ketika di antara masa beruntunnya musibah
itu, Ayah Vivi datang kembali mengurus rumah lamanya dan mengundang ia dan
ayahnya untuk makan bersama. Itu terjadi tak lama berselang setelah kematian
istri dan anak bungsunya. Pertemuan itu bernuansa haru. Ayah Rere sebisa
mungkin tidak menyinggung terlalu banyak soal kematian dan lebih banyak
bercerita kabar menghibur soal perkembangan di kota. Ketika Rere bertanya
mengapa Vivi tidak ikut kembali ke kota, Ayah Vivi hanya menjawab sekenanya,
“Ia sibuk sekolah di sana, Nak. Juga mengurus ladang bersama bibinya.”
Rumah itu terkepung dalam kesedihan
sekaligus kengerian. Di antara denting sendok, garpu, dan piring yang
dibereskan, Rere melirik sejenak ke mesin jahit yang dahulu sering digunakan
Ibu Vivi untuk membuat pesanan baju bagi anak-anak gadis. Gaun milik Rere juga
pernah dijahitkan olehnya. Juga gorden ungu tua di ruang tamu yang dahulu
dijadikan tempat bermain adik Vivi. Dulu ia sering melilitkan tubuhnya di sana
seakan sedang bersembunyi dari para pengintai. Matanya buta sebelah.
Di ruang tamu, sementara Ayah Rere
sedang merokok pipa di beranda, Ayah Vivi meminta Rere untuk membantunya
melakukan pemijatan. Hal biasa yang sering dilakukan anak-anak ke orang yang
lebih tua. Cukup berdiri di atas tubuh yang tengkurap dan menginjak-nginjak
bagian yang sakit. Ayah Vivi menelungkup di atas tikar. Cukup lama Rere berdiri
di kedua kaki Ayah Vivi. Ia memandang kedua kaki yang kini benar-benar kurus
itu sambil menginjak lebih keras lagi agar rasa sakit cepat hilang. Tetapi ia
mendadak menggigil ketakutan. Ia baru sadar, sejak tengkurap Ayah Vivi belum mengucapkan
sepatah kata pun. Matanya terpejam. Sebagian mukanya tersembunyi oleh bantal.
Rere memanggil-manggil.
“Paman?” katanya gugup. “Paman?
Sudah selesai? Saya boleh pergi?”
Hening. Tak ada jawaban.
Rere segera melompat dari kedua kaki
kurus itu. Sejenak hentakannya menimbulkan goncangan pada tubuh Ayah Vivi. Ia
berlari ketakutan ke arah beranda mencari-cari ayahnya. Ayahnya melihatnya menangis
dan bertanya apa yang terjadi.
“Paman telah mati,” ucap Rere
terisak-isak.
Ayahnya memberi rangkulan dan
mengusap kepalanya, “Oh, tidak. Ia hanya tertidur, sayang. Ia pasti lelah
sekali.”
Dalli kembali dari perjalanan kantor
fiktif kawannya. Dia tidak langsung masuk. Tapi lebih memilih mengamati dari
luar dua perempuan yang sejak tadi mengobrol. Dia menerka-nerka apa yang tengah
dipercakapkan kedua perempuan itu. Keterusterangan yang berarti ataukah syak-wasangka
yang tidak diletakkan pada tempatnya?
Dalli tertegun. Tercengang dengan
apa yang kemudian disaksikannya. Terlihat Rere dan Vivi sama-sama terdiam,
menyeruput jus masing-masing dengan ketergesaan. Rona muka yang tadinya ceria
telah lenyap dari keduanya. Rere mendesah panjang, memundurkan punggungnya
perlahan-lahan. Vivi terlihat menjelaskan sesuatu dengan terburu-buru yang
sesekali diselingi serupan jusnya. Tampak ingin menghabiskan jus itu sebelum
membicarakan hal yang dirasa amat penting dan menguras tenaga. Vivi berbicara
terus, sementara Rere menerima semua perkataan yang terucap itu dengan tatapan
kaku dan bibir yang terkatup rapat.
Dalli terheran-heran. Apa yang kini
membuat suasana obrolan keduanya berubah? Vivi terlihat siap berkemas-kemas,
memeriksa tas tangannya yang dapat dikepit dengan mudah. Dengan satu gerakan
yang cepat, Rere telah lebih dulu berdiri dari kursi mendahuluinya. Mereka
berjabat tangan. Rere lantas berlalu. Tiba di pintu, Dalli segera
menghampirinya.
“Apa yang terjadi? Mengapa kau ingin
cepat pergi?” tanya Dalli.
Rere terlihat lelah. “Terima kasih,
Dalli. Kau sudah mengatur pertemuan kami. Sebelas tahun waktu yang tidak
singkat. Kami berbicara banyak hal. Tapi banyak yang berubah. Semua tinggal
cerita.” Rere berterima kasih sekali lagi dan langsung pergi.
Ketika Vivi tiba di pintu, Dalli
bertanya hal yang sama. Vivi hanya tersenyum tipis. “Itu benar. Sebelas tahun.
Semestinya kita tak perlu melebih-lebihkan apa yang telah lewat. Keadaan berubah.
Orang-orang pun berubah. Kupikir, Rere bukanlah Rere yang sama seperti dulu. Tapi
tetap saja ia perempuan yang hebat. Aku tahu itu.”
Di rumahnya, Dalli masih berpikir
apa gerangan yang telah salah dari pertemuan itu? Dia telah melewatkan sesuatu
dan tidak tahu apa itu. Padahal dia berharap akan membawa pulang suatu bahan
yang dapat dijadikan perundingannya sendiri tentang persahabatan yang bersemi
kembali. Tetapi yang ditunjukkan kedua perempuan itu benar-benar
mengherankannya. Begitu mudahkah seseorang melupakan seseorang? Begitu mudahkah
ia menjadi tak berarti lagi? Jadi hanya itu yang terjadi, pertemuan yang serba
tergesa-gesa setelah tidak berjumpa selama belasan tahun. Betapa tak ada
artinya waktu yang berlalu jika demikian mudahnya orang-orang saling melupakan!
Dalli teringat dengan surat kaleng
itu. Apakah besok surat itu akan datang lagi dengan bunyi pesan yang sama? Oh,
tiba-tiba dadanya terasa hampa sekali. Dia kini merasa yakin istrinya tidak
akan pulang. Istrinya tidak akan pernah kembali.