Reuni Dalli - Iin Farliani

@kontributor 12/25/2022

Reuni Dalli

Iin Farliani






“Semoga rumah tanggamu berantakan,” bunyi kalimat yang tertera pada surat. Dalli meremas keras-keras surat itu lalu menjejalkannya ke dalam kaleng. Ini surat yang kesebelas kalinya dan masih berisi pesan yang sama. Tertulis dalam tulisan tangan yang rapi untuk sebuah surat yang berisi pesan menghantui itu. Dalli memandang keluar ke arah gerbang. Barangkali orang yang melempar surat kaleng ini masih menunggu di sana, melihatnya melalui celah yang tersembunyi untuk mengetahui seperti apa reaksi Dalli setelah membaca surat itu. Dalli tiba-tiba teringat Rere dan janji mereka bertemu dengan Vivi sore ini. Dalli masih ingat bagaimana dia berusaha meyakinkan Rere bahwa pertemuan mereka nanti bersama Vivi akan memberi pengalaman yang tak terduga. Tiga hari lalu, dia sudah mengatakan hal ini melalui telepon.

            “Bagaimana kalau dia tidak ingat? Bagaimana kalau Vivi sudah melupakanku?” tanya Rere.

            “Dia ingat! Ingat betul dirimu. Dia justru bertanya padaku dan merasa cemas ‘Alangkah malunya! Tidak mungkin Rere mengingatku. Kami sudah tidak bertemu selama sebelas tahun.’ Begitu katanya.”

            “Ya. Sebelas tahun. Itu benar. Apa yang diharapkan dari perjumpaan setelah berpisah selama sebelas tahun?” Suara Rere terdengar lelah. Dalli bisa membayangkan di ujung telepon Rere sedang bertopang dagu, mengernyitkan dahi sembari terus menimbang-nimbang apakah akan mengiyakan saja tawaran Dalli.

            “Kau malu. Vivi juga malu. Kalian berdua sama-sama merasa malu. Tapi baiklah. Ini akan menjadi pertemuan yang menarik. Sobat masa kecil yang berjumpa lagi setelah sebelas tahun. Aku sudah tidak sabar untuk menantikannya.”

            “Sepertinya pertemuan itu akan jadi pertemuan yang penuh dengan suasana canggung. Aku tidak bisa lagi membayangkannya,” seru Rere.

            Dalli tersenyum. Dia senang mendengar kekhawatiran Rere dan membayangkan kekhawatiran itu akan segera tuntas bila menemukan kenyataan tentang pertemuan itu yang akan sangat berbanding terbalik dengan perkiraan Rere sendiri. Dia benar-benar yakin.

            “Karena itulah aku harus ikut. Aku akan hadir di tengah pertemuan kalian. Ini akan menjadi pengalaman nostalgia yang menyenangkan.”

            Hening sebentar. Tidak ada jawaban dari telepon. Rere tiba-tiba menyahut,

            “Hei? Bagaimana dengan surat itu?”

            “Surat?” Dahi Dalli berkerut mendengar pertanyaan mendadak itu.

            “Ya. Surat kaleng itu bagaimana? Apakah kau sudah tahu siapa pengirimnya?”

            Dalli terdiam. Suasana hatinya mendadak berubah. “Tidak penting. Betul-betul tidak penting. Pengirimnya? Memangnya siapa peduli? Paling-paling hanya orang yang tidak tahu cara menghabiskan waktu luangnya. Orang yang terlalu memiliki banyak waktu luang hingga harus berbuat iseng!”

            Telepon ditutup setelah Rere akhirnya menerima ajakan Dalli untuk bertemu Vivi. Mereka tiga kawan masa kecil yang tumbuh bersama dan akan bertemu lagi dalam kesempatan yang benar-benar dinantikan oleh siapa saja yang merindukan masa kecilnya.

            Sebelum berangkat, Dalli teringat pertanyaan Rere. Dia termenung di depan pintu. Ketika pertama kali menceritakan pengalaman mendapat surat kaleng itu, Rere terus bertanya “Tidakkah kau ingin tahu siapa pengirimnya?”  Tapi lagi-lagi Dalli hanya mengganggap itu sebagai perbuatan orang iseng. Di muka gerbang, salah seorang tetangganya sedang berlari-lari kecil memutari jalan sempit yang memisahkan rumah Dalli dengan rumah orang itu. Ia memberi sapaan hangat pada Dalli. Dalli membalas dengan memberi anggukan ramah. Tiba-tiba orang itu bertanya, “Bagaimana Dalli? Apa istrimu sudah kembali?”

            Dalli tiba di restoran, tempat dia akan bertemu Rere dan Vivi. Dia segera masuk. Mendadak langkahnya terhenti. Dia terkejut melihat Rere dan Vivi sudah duduk satu meja. Mereka terlihat sedang membicarakan sesuatu sambil sesekali tertawa kecil. Mereka juga terkejut ketika menoleh bersamaan ke arah Dalli yang tengah berdiri menjulang di hadapan meja mereka. Mereka berseru riang menyambut Dalli.

            Dalli memberikan tepukan pada buku-buku jari kedua kawan perempuannya secara bergiliran. Salam keakraban yang dahulu sering mereka lakukan ketika masih kecil. Tetapi rupanya hanya Dalli yang masih mengingat bentuk salam itu sebab Rere dan Vivi tampak kebingungan sampai mereka akhirnya mengikuti gerakan tangan Dalli. Dalli kemudian memutuskan untuk keluar sebentar menemui kawannya yang berkantor tak jauh dari restoran. Sebenarnya itu hanya alasannya saja. Dia tak ingin mengganggu pertemuan dua sobat itu. Seperti apa yang terjadi pada pertemuan itu, segalanya hanya ingin dia saksikan secara diam-diam dari luar restoran yang sebagian besar pemandangan di dalamnya bisa dilihat melalui dinding berkaca.

            “Sejak pertama aku tiba di kota ini, hal pertama yang ingin kulakukan adalah mencarimu secepatnya. Aku harus bertemu Rere, begitu pikirku. Tapi aku tidak tahu harus bertanya kepada siapa. Sampai akhirnya aku bertemu Dalli. Dalli meyakinkanku. Rere masih mengingatmu, begitu katanya. Meski waktu itu aku sendiri tidak yakin.” Vivi berhenti sebentar. Merapikan ujung-ujung lengan bajunya. Ia terlihat gugup. “Bibiku masih punya ikatan kekerabatan dengan ayahnya. Itulah mengapa Dalli cepat menemuiku. Oh,ya. Bagaimana dengan keluargamu, Rere? Apakah mereka sehat? Sampaikan salamku untuk mereka.” Vivi tersenyum lebar.

            “Tidak mungkin aku melupakanmu. Kita dulu pernah bermain surat-suratan. Berperan sebagai sahabat pena satu sama lain. Padahal rumah kita hanya berjarak tiga kilometer. Apa kau ingat? Aku mengantar surat-surat itu dengan menaiki sepeda torpedo warna merah milik ayahku. Sepeda yang sering aku bandingkan dengan sepeda keranjang berlonceng milikmu. Keluargaku? Mereka sehat. Tentu saja. Aku akan menyampaikan salammu. Pasti sulit dipercaya bagi mereka si Vivi telah kembali ke kota ini.”

            Vivi tertawa. “Tentu saja aku mengingatnya. Surat-surat itu. Permainan sebagai sahabat pena! Bukankah dulu aku mengantarnya juga menggunakan sepedaku. Oh sudah lama sekali. Berapa tahun itu? Belasan tahun yang lalu. Benar-benar sulit diduga. Tahu-tahu kita telah dewasa.”

            “Ya. Kita telah dewasa seperti ini. Aku juga sulit percaya. Waktu begitu cepat berlalu.” Rere tiba-tiba termenung. Ia menunduk, memainkan sedotan limun dalam gelas jus alpukatnya lalu menyeruputnya perlahan-lahan.

            Di seberang meja, Vivi juga terdiam sebentar. Menggoyangkan sedikit jus apelnya, tapi tidak meminumnya.

            “Telah berlalu sebelas tahun. Memang aneh kalau diingat-ingat. Aku pulang ke pulau seberang saat usiaku masih remaja. Apa kau ingat Rere? Aku pulang ke desa orangtuaku yang letaknya sangat jauh dari sini. Menempuh perjalanan jauh dengan kapal. Aku tidak tahu apa pun saat itu. Tak banyak yang bisa kumengerti.”

            Rere terperangah. Ia seperti dilempar pada ingatan yang sebelumnya terkubur dalam kotak hitam, tak tersentuh dan seakan hanya pada kekelaman tertentulah kotak hitam ingatan itu akan terbuka. Memunculkan perasaan yang dingin sekaligus ganjil. Ia tiba-tiba merasa tidak enak hati sesudah menyadari kenyataan bahwa setelah kepulangan Vivi dan keluarganya ke kampung halaman nun jauh itu, secara beruntun nasib buruk menimpa keluarga Vivi. Mula-mula ibunya meninggal karena penyakit gula. Tak lama berselang, adiknya yang juga mewarisi penyakit itu pun meninggal. Ayahnya pun tak kuat menanggung duka. Selang beberapa tahun kemudian, ayahnya meninggal disebabkan derita sakit yang sama.

            Padahal mereka bermaksud pulang ke tanah kelahiran untuk menempuh hidup yang lebih baik sekaligus memperpanjang usia dengan melakukan serangkaian pengobatan alami yang dirasa perlu untuk mengurangi dampak penyakit gula yang hendak menggerogoti nyawa mereka. Satu ingatan lagi melompat keluar dari kotak hitam Rere ketika di antara masa beruntunnya musibah itu, Ayah Vivi datang kembali mengurus rumah lamanya dan mengundang ia dan ayahnya untuk makan bersama. Itu terjadi tak lama berselang setelah kematian istri dan anak bungsunya. Pertemuan itu bernuansa haru. Ayah Rere sebisa mungkin tidak menyinggung terlalu banyak soal kematian dan lebih banyak bercerita kabar menghibur soal perkembangan di kota. Ketika Rere bertanya mengapa Vivi tidak ikut kembali ke kota, Ayah Vivi hanya menjawab sekenanya, “Ia sibuk sekolah di sana, Nak. Juga mengurus ladang bersama bibinya.”

            Rumah itu terkepung dalam kesedihan sekaligus kengerian. Di antara denting sendok, garpu, dan piring yang dibereskan, Rere melirik sejenak ke mesin jahit yang dahulu sering digunakan Ibu Vivi untuk membuat pesanan baju bagi anak-anak gadis. Gaun milik Rere juga pernah dijahitkan olehnya. Juga gorden ungu tua di ruang tamu yang dahulu dijadikan tempat bermain adik Vivi. Dulu ia sering melilitkan tubuhnya di sana seakan sedang bersembunyi dari para pengintai. Matanya buta sebelah.

            Di ruang tamu, sementara Ayah Rere sedang merokok pipa di beranda, Ayah Vivi meminta Rere untuk membantunya melakukan pemijatan. Hal biasa yang sering dilakukan anak-anak ke orang yang lebih tua. Cukup berdiri di atas tubuh yang tengkurap dan menginjak-nginjak bagian yang sakit. Ayah Vivi menelungkup di atas tikar. Cukup lama Rere berdiri di kedua kaki Ayah Vivi. Ia memandang kedua kaki yang kini benar-benar kurus itu sambil menginjak lebih keras lagi agar rasa sakit cepat hilang. Tetapi ia mendadak menggigil ketakutan. Ia baru sadar, sejak tengkurap Ayah Vivi belum mengucapkan sepatah kata pun. Matanya terpejam. Sebagian mukanya tersembunyi oleh bantal. Rere memanggil-manggil.

            “Paman?” katanya gugup. “Paman? Sudah selesai? Saya boleh pergi?”

            Hening. Tak ada jawaban.

            Rere segera melompat dari kedua kaki kurus itu. Sejenak hentakannya menimbulkan goncangan pada tubuh Ayah Vivi. Ia berlari ketakutan ke arah beranda mencari-cari ayahnya. Ayahnya melihatnya menangis dan bertanya apa yang terjadi.

            “Paman telah mati,” ucap Rere terisak-isak.

            Ayahnya memberi rangkulan dan mengusap kepalanya, “Oh, tidak. Ia hanya tertidur, sayang. Ia pasti lelah sekali.”

            Dalli kembali dari perjalanan kantor fiktif kawannya. Dia tidak langsung masuk. Tapi lebih memilih mengamati dari luar dua perempuan yang sejak tadi mengobrol. Dia menerka-nerka apa yang tengah dipercakapkan kedua perempuan itu. Keterusterangan yang berarti ataukah syak-wasangka yang tidak diletakkan pada tempatnya?

            Dalli tertegun. Tercengang dengan apa yang kemudian disaksikannya. Terlihat Rere dan Vivi sama-sama terdiam, menyeruput jus masing-masing dengan ketergesaan. Rona muka yang tadinya ceria telah lenyap dari keduanya. Rere mendesah panjang, memundurkan punggungnya perlahan-lahan. Vivi terlihat menjelaskan sesuatu dengan terburu-buru yang sesekali diselingi serupan jusnya. Tampak ingin menghabiskan jus itu sebelum membicarakan hal yang dirasa amat penting dan menguras tenaga. Vivi berbicara terus, sementara Rere menerima semua perkataan yang terucap itu dengan tatapan kaku dan bibir yang terkatup rapat.

            Dalli terheran-heran. Apa yang kini membuat suasana obrolan keduanya berubah? Vivi terlihat siap berkemas-kemas, memeriksa tas tangannya yang dapat dikepit dengan mudah. Dengan satu gerakan yang cepat, Rere telah lebih dulu berdiri dari kursi mendahuluinya. Mereka berjabat tangan. Rere lantas berlalu. Tiba di pintu, Dalli segera menghampirinya.

            “Apa yang terjadi? Mengapa kau ingin cepat pergi?” tanya Dalli.

            Rere terlihat lelah. “Terima kasih, Dalli. Kau sudah mengatur pertemuan kami. Sebelas tahun waktu yang tidak singkat. Kami berbicara banyak hal. Tapi banyak yang berubah. Semua tinggal cerita.” Rere berterima kasih sekali lagi dan langsung pergi.

            Ketika Vivi tiba di pintu, Dalli bertanya hal yang sama. Vivi hanya tersenyum tipis. “Itu benar. Sebelas tahun. Semestinya kita tak perlu melebih-lebihkan apa yang telah lewat. Keadaan berubah. Orang-orang pun berubah. Kupikir, Rere bukanlah Rere yang sama seperti dulu. Tapi tetap saja ia perempuan yang hebat. Aku tahu itu.”

            Di rumahnya, Dalli masih berpikir apa gerangan yang telah salah dari pertemuan itu? Dia telah melewatkan sesuatu dan tidak tahu apa itu. Padahal dia berharap akan membawa pulang suatu bahan yang dapat dijadikan perundingannya sendiri tentang persahabatan yang bersemi kembali. Tetapi yang ditunjukkan kedua perempuan itu benar-benar mengherankannya. Begitu mudahkah seseorang melupakan seseorang? Begitu mudahkah ia menjadi tak berarti lagi? Jadi hanya itu yang terjadi, pertemuan yang serba tergesa-gesa setelah tidak berjumpa selama belasan tahun. Betapa tak ada artinya waktu yang berlalu jika demikian mudahnya orang-orang saling melupakan!

            Dalli teringat dengan surat kaleng itu. Apakah besok surat itu akan datang lagi dengan bunyi pesan yang sama? Oh, tiba-tiba dadanya terasa hampa sekali. Dia kini merasa yakin istrinya tidak akan pulang. Istrinya tidak akan pernah kembali.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »