Kota, Sastra, dan Bangsa
Tjahjono Widarmanto
Kota tak hanya berhenti sebagai sebuah identitas kewilayahan atau alamat. Kota merupakan sebuah simbol dari jejak, sejarah, masa lalu, kenangan dan kebesaran. Melalui nama sebuah kota akan bisa kembali dihikmati sebuah kenangan yang besar bahkan sebuah citra kebesaran sebuah peradaban. Setiap kota membawa makna dan citra tertentu. Jayakarta, misalnya, merupakan sebuah nama yang mengingatkan pada kemenangan pertempuran yang gilang gemilang. Citra semacam inilah yang hendak dikabarkan. Oleh karena itu tak heran hampir seluruh kota di Indonesia memakai slogan untuk mencitrakan dirinya. Ada kota yang mencitrakan dirinya dengan slogan berjuang, bermahkota, resik, Apik, bersemangat, dan sebagainya; yang kesemuanya merupakan sebuah upaya untuk mempresentasikan citra yang positif.
Kota merupakan sebuah narasi kecil
yang merupakan bagian dari narasi besar yang disebut bangsa. Kota merupakan
sebuah ikon yang diperlukan untuk mempublic relation (mem PR-kan) kan bangsa.
Misalnya, Kuala Lumpur mengingatkan kita pada Negeri Jiran, Mekah pada bangsa
Arab, Paris adalah cap Perancis, Roterrdam mengasosiasikan pada Belanda, Bali
dan Jakarta merujuk pada Indonesia. Sebuah kota bisa mempresentasikan citra bangsa
bahkan sekaligus mempresentasikan citra dari pemimpinnya. Sebuah kota memiliki
arti yang penting bagi sebuah bangsa sebab merupakan sebuah miniature yang
dapat digunakan sebagai alat promosi kepada dunia luar.
Nasionalisme tak hanya bergantung
pada batas kewilayahan yang karena globalisasi bisa menjadi sangat rentan.
Pengikat nasionalisme tak hanya batas teritorial namun juga pada rasa
keterikatan pada cita-cita, persamaan ras, keterikatan culture atau rasa senasib.
Nasionalisme tak mustahil pupus apabila berbagai rasa keterikatan itu tidak
terus menerus ditanamkan.
Sastra bisa mengambil alih tugas
tersebut. Melalui sastra bisa
dibangkitkan kembali rasa keterikatan tersebut. Sastra bisa menunjukkan kembali
kebersamaan cultur, kebersamaan ideologi, kebersamaan pemikiran, dan mengikat
kembali cita-cita bersama. Lukacs (1998) menunjukkan bahwa sastra merupakan
gejala kebangsaan dan kemasyarakatan. Hasil teks sastra mencerminkan berbagai
gejala yang dialami negara. Sastra merupakan cerminan ikatan struktur yang
hidup yang terus menerus dinamik. Cita-cita dan arah sebuah bangsa bisa
diamati, dituliskan kembali, dan terus menerus dievaluasi melalui karya sastra.
Teks sastra tak hanya menjahit kembali rentangan nasionalisme namun lebih jauh
ia akan melesatkan dan mengenalkan sebuah bangsa ke dalam kancah `dunia.
Melalui sastra masyarakat dunia bisa menengok Indonesia. Sastra menjadi juru
bicara!
Sastra tak akan lahir tanpa kehadiran
sastrawan. Kalau melihat begitu penting peran sastra bagi sebuah bangsa, maka
sastrawan juga memiliki posisi penting bagi sebuah negara dan bangsa. Seorang
sastrawan mampu lebih jauh meneropong ke depan dari siapa pun. Lebih dari politikus, wartawan, atau yang
lain. Tak sekedar memotret tapi menjalin sebuah realitas menjadi realitas
imajiner yang ideal. Sastrawan merefleksikan kembali pergulatan ide, realitas,
dan fenomena zaman menjalinnya menjadi realitas yang baru dan menawarkan pada
publik.
Melihat pentingnya sastra dan satrawan, semestinya
kedudukkan sastra dan sastrawan juga penting. Namun realitasnya di Indonesia
sastra dan sastrawan adalah ”sesuatu” yang tidak populer, tidak dianggap
penting bahkan dipandang sebelah mata. Karena dianggap sebelah mata, mata
sedikit orang yang mau membaca sastra.
Sampai
sekarang, Indonesia belum memiliki politik sastra yang baik, bahkan tak
memiliki politik kebudayaan yang jelas. Pengajaran sastra di sekolah merupakan
cermin yang nyata bahwa politik sastra kita tidak jelas. Pengajaran sastra
selama ini (dan berkali-kali digugat!) hanya diajarkan sepotong-potong, hanya
hafalan-hafalan dan tidak menyentuh pada hakikat sastra yang menawarkan nilai
dan idealisme. Apabila pelajaran sastra sebagai salah satu upaya politik sastra
berjalan dengan baik maka akan tumbuh pula apresiator dan pembaca-pembaca
sastra yang baik.
Sastra selalu bersentuhan dengan citra dan cita-cita bangsa. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sastrawannya! Meletakkan posisi sastrawan pada posisi kunci adalah tugas kita bersama.*****