Rumah di Tengah Sawah
Adi Zamzam
Sebenarnya
Naryo tak pernah menginginkan tinggal dalam rumah di tengah sawah itu. Dulu,
yang dibayangkannya adalah ia akan memboyong putri pilihannya ke sebuah istana
sederhana, nyaman, dan yang terpenting adalah dari hasil keringatnya sendiri.
“Kalau nebeng bahu mertua, kamu akan kehilangan wibawa sebagai lanangan,” jawab bapakmu ketika itu.
Bapakmu begitu getol menyuruh rajin bekerja. Padahal menurutmu, sekeras apa pun
seorang kuli memeras keringat, yang kaya tetaplah majikan. “Dan terutama agar
kau tak sering dikata-katai istrimu cuma modal isi kolor,” tambah bapakmu,
tanpa risi.
Oh, jadi begitu, batinmu saat menemukan simpul kalimat bapakmu dengan kenyataan
hidupnya. Kau memang pernah mendapati si mbokmu yang
mengata-ngatai bapakmu dengan sebutan “tukang nggandul
1)”, “cuma modal
isi kolor”, bahkan “pemalas”. Padahal kau sering melihat, saat bapakmu bekerja
kadang sampai lupa waktu dan batas kekuatan. Hingga akhirnya kaki kirinya
termakan reumatik dan tulang belakang melengkung di batas umur senjanya.
Kau pun kemudian menjadi pemilih sekali terhadap gadis-gadis yang masuk
dalam pandangan. Sebelum kemudian menemukan dia yang hari ini tinggal bersamamu,
di dalam rumah di tengah sawah itu.
* * *
Di dalam
kamar mandi, istrimu berteriak-teriak macam anak kambing. Nasi harus sudah
disiapkan, lantai nanti harus disapu, piring-piring kotor, kotoran ayam di
teras samping rumah, dan satu lagi—sepulangnya dari kerja, semua pekerjaan
rumah harus beres. Sementara dia, setelah bangun tidur hanya disibukkan dengan
mandi, dandan, dan tentu saja teriak-teriak, sebelum kemudian lenyap di ujung
jalan menuju pabrik sepatu di pinggiran kota Jepara. Sejak pernah kaudengar
presiden berujar “Kerja! Kerja! Kerja!” banyak pabrik bermunculan, yang menelan
puluhan ribu orang tiap harinya di sana.
Tapi pagi
ini kau tidak ingin kalah lagi. Kau menemukan tiga batang bambu di samping
rumah yang bisa dijadikan alasan untuk tidak menuruti perintah-perintah membosankan
itu. Ada kandang ayam yang harus segera diselesaikan, agar ayam piaraan tak
habis dimangsa werok 2) juga ular.
“Bukankah
itu bisa dikerjakan nanti?” kepala perempuan itu melongok dari belahan pintu
dapur.
Kau tak
memedulikannya.
“Kau
benar-benar tak mau mengerjakan pekerjaan rumah?”
Kau masih
tak memedulikan suara yang penuh emosi itu.
“Awas nanti
malam ya!” terdengar sebuah umpatan. Dan selanjutnya memang terdengar bunyi
pintu lemari terbentur keras.
Malam
harinya ternyata perempuan itu benar-benar menepati ancamannya. Punggungnya anteng
membelakangimu—tanpa dengkur. Hingga kauyakin, bahwa perempuan itu tak
benar-benar pulas. Sudah empat tahun kalian hidup bersama. Dan kau sudah
hafal kebiasaannya.
Hukuman itu
berjalan hampir satu pekan. Hingga ayam-ayam peliharaan kalian mulai terbiasa
menjadi makhluk dalam kandang. Sementara kau mulai tak betah dengan perlakuan
itu. Ada hasrat yang mulai meronta-ronta di dalam tubuhmu. Dan kautahu
sumbernya berasal dari dalam celana kolormu.
Sialan! batinmu.
Hal pertama
yang harus kaulawan adalah rasa malumu. Malu, bahwa ternyata kau memang butuh
itu. Menyalurkan hasrat sebagaimana mestinya, sebagaimana yang sering kau
bayangkan ketika masih hidup sendirian dahulu.
“Apa?!”
sentil perempuan itu saat menanggapi tarikan halusmu di bahu. “Kalau butuh saja
kelakuannya kayak kucing!”
Hanya dengan
satu suara itu, semuanya tiba-tiba berubah. Bukan hanya hasratmu yang tiba-tiba
lenyap, tapi wajahmu juga memanas. Tanpa pikir panjang kau langsung bangkit
dari pembaringan, dan meninggalkan perempuan itu dengan gerutuan panjang
pendeknya.
“Lelaki kok
maunya enaknya doang!” suara yang
terakhir kaudengar.
Di dalam
kamar yang pernah direncanakan sebagai kamar anak kalian, dadamu masih terasa
panas. Dalam hati, kau pun lantas mengikrarkan balas dendam!
* * *
Hanya selang
sehari pascaikrar balas dendam, kejadian yang kautunggu-tunggu akhirnya mengada
juga.
“Ada ular!
Ada ular, Kang!” malam yang hening pecah oleh teriakan perempuan itu. Kau yakin
bahwa suaranya berasal dari kamar mandi. Hari-hari sehabis musim panen padi biasanya
memang banyak ular naik ke atas, mencari tempat aman.
“Ada ular…!”
perempuan itu masih terdengar berteriak-teriak dan ribut, entah mengambil apa.
Sementara di
sudut bibirmu terbentuk senyum kecil. Semoga kobra! batinmu mengalkulasi. Sebab
jika hanya ular air, ular kadut, ular dumung, atau hanya ular hijau, rasa takut
itu takkan mampu menghukumnya. Dan lebih baik kau terus meringkuk di
pembaringan.
“Itu ular
kobra!” suara terbata nan serak itu tiba-tiba sudah berdiri di ambang pintu
kamar. Mengagetkanmu.
Kau coba bertahan
dalam posisimu. Meringkuk. Memeluk nasib malangmu. Memeluk egomu. Mengenang
keberadaanmu di rumah ini yang jelas atas paksaan. Kalau orang tua punya harta lebih, buat apa kalau tidak diberikan
kepada anaknya? Alasan mertua lelakimu—sembari bilang kalau kau tak mau,
boleh saja akhiri hubungan pernikahan yang baru satu tahun itu. Tentu saja
kaupaham alasan tersembunyinya. Kebiasaan orang tua yang tak ingin ditinggal
jauh-jauh si anak—apalagi anak tunggal. Meskipun rumah mereka berada di dalam
kampung—sementara kalian menjadi pelopor rumah di tengah sawah.
“Kamu itu
manusia enggak sih?!” sembur perempuan itu dan lalu berlalu. Suara itu
terdengar menahan tangis.
Panas itu
kembali bergulung-gulung di dalam dadamu. Kau mulai menimbang dan menghitung-hitung.
Apakah perempuan itu sudah bisa memetik pelajarannya?
Menit
berikutnya kau sudah memegang sebatang kayu dan melihat perempuan itu kepayahan
memukuli ular kobra yang berdiri garang dan membandel tak mau pergi dari kamar
mandi. Perempuan itu menangis seperti anak kecil.
* * *
Makan malam
yang ganjil setelah seharian kalian saling mendiamkan. Pagi tadi perempuan itu
memasak. Pepes teri bakar dengan sambal tomat kesukaanmu. Bau harumnya mengusik
ketenanganmu seharian, apakah kau yang akan memulai duluan, atau biarlah dia
yang memulainya duluan?
Semua
makanan itu sudah tersaji lengkap di meja makan. Tapi tak ada suara panggilan
buatmu ke sana. Hanya bau harumnya.
Kau hampir
saja duduk di kursi makan saat tahu bahwa dapur sudah sepi dari segala bunyi perabot
rumah tangga. Tapi kemudian kau malah teringat seekor tikus yang tadi pagi
masuk perangkapmu. Padahal kau hanya memasang kepala ikan pada kail perangkap.
Apakah kau
hendak dipersamakan dengan tikus? Yang setelah kena perangkap, lantas, “Nah
kan, kau ternyata tak bisa hidup tanpa diriku?” Padahal di luar ada warungnya
Parni yang sedari jam enam pagi tak pernah sepi dari pembeli.
Warung Parni
terletak di ujung deretan rumah warga kampung dan paling dekat jaraknya dengan
rumah kalian. Dan kau memang biasa mangkal
ke situ saat kondisi darurat—ketika istrimu sakit, ketika istrimu dapat jam
kerja malam, atau ketika istrimu malas memasak. Hanya saja belakangan kau risi
menyambangi warung itu—tepatnya sejak beredar gurauan bahwa seharusnya Parnilah
yang layak jadi istrimu. Kau menulikan telinga. Kau bahkan sering berdoa semoga
pabrik yang telah mengubah segala tatanan kehidupan itu pergi entah ke mana,
meski banyak orang—utamanya para perempuan, kini telah bergantung padanya.
Bukan hanya mengubah tatanan kehidupan, tetapi juga tabiat mereka.
Kau memang
kadang merasa tak sepenuhnya mencintai istrimu—terutama sejak tumbuh kecerewetannya
yang hampir selalu menelanmu bulat-bulat itu. Apalagi ketika menyadari
perlakuan Parni—yang bisa kau rasakan sinyal-sinyalnya. Janda gatal?
Kau merasa
tertolong ketika ada Jarwo yang tiba-tiba saja menawarimu kerja jadi kenek
tukang bangunan, meskipun biasanya kau juga seorang tukang. Kau menyanggupi
tawaran itu. Upah lebih rendah dari biasanya tak mengapa, setidaknya bisa
menghindarkanmu dari ketajaman lidah yang merajam hampir tiap hari. Kehormatan
lelaki terletak juga pada kemampuannya cari penghasilan.
Tapi kau
sungguh tak menyangka jika ternyata saat kerja Jarwo selalu mencecarmu perihal
Parni. Kau hampir tertawa saat menerima tuduhan bahwa kau ada main dengan janda
beranak satu itu. Ah, tentu saja tak susah menghubungkan Jarwo dengan Parni.
Meski kau melihat sinyal penolakan perempuan itu, dan sempat mendapati
kesalahpahaman ketika mula percakapan kaubilang ada seseorang yang ingin bicara
serius dengannya.
“Kamu, Kang?
Soal istrimu yang suka marah-marah?” tanya Parni, membuatmu sedikit terkejut.
Bagaimana dia bisa tahu?
“Perempuan,
kalau sudah pegang uang banyak, apalagi hasil kerja sendiri, memang begitu,
Kang. Suka merendahkan laki. Susah
memang, cari yang bisa menghargai suami. Aku, dulu, kalau mantan suamiku bukan
tukang mabuk dan pemburu biduan orkes, harusnya hidupnya enak. Enggak pernah nagih uang belanja, tahunya semua
kebutuhan rumah tercukupi. Eh, lha kok masih juga main perempuan di luar. Apa
enggak mending cari lelaki lain? Hidup cuma sekali. Buat apa bertahan dengan
orang yang betah menyiksa kita, ya ta?”
Hatimu
berdesir. Ucapan itu sepertinya juga diarahkan kepadamu. Kau pun urung
melontarkan tanya dari mana Parni mendapatkan rahasia dalam kamarnya. Dan kau
sudah mantap mengajukan permintaan Jarwo.
Jarwo
menepuk bahumu, tanda terima kasih. Meski akhirnya ditolak. Dan kau malah
menjadi tempat curhat dua orang yang
telah gagal mempertahankan ikatan rumah tangga. Ah, setidaknya Jarwo jadi
senang mempekerjakanmu. Dan sekali lagi, kau bisa terbebas dari lidah yang
kerap merajam mentah-mentah.
Sebulan,
membangun satu rumah. Tambah sebulan membangun rumah lain lagi. Tambah dua
bulan lagi membangun rumah lainnya lagi. Hingga entah bagaimana kau sering
didera perasaan sunyi. Saat libur kerja, kadang kau melihat bayang-bayang
istrimu berseliweran di rumah. Teriakannya juga. Sesekali wajah Parni juga
muncul.
Sejak
kembali rutin kerja, kau memang jadi jarang bertemu istri. Kalaupun bertemu,
kebetulan dia sedang tidur (setelah dapat jam kerja malam), atau terlihat terlalu
lelah, atau terburu-buru, atau malah marah-marah. Waktu bergulir begitu saja.
Tanpa arti. Tanpa rasa.
Malam itu
kau merasa dadamu sudah penuh dengan muatan. Istrimu terlihat lelap. Tapi kau
yakin dia pasti akan dengar, lantaran sering membolak-balikkan tubuh.
“Apakah kita
akan begini terus?” suara beratmu. Tak ada sahutan. Hanya suara jangkrik.
“Kalau cuma
begini terus, tanpa dibeli bapakmu dengan rumah ini pun aku sanggup membuat
rumah di lain tempat…”
Saat itulah
kau melihat mata istrimu sudah nyala, dan terasa tajam.
Lantaran tak
tahan lagi, kau pun memaksa. Hingga terjadilah apa yang telah empat bulan kau
inginkan. Meskipun perempuan itu kemudian tersedu sambil berkali-kali menyebut
nama Tuhan—lantaran merasa kalah.
Ah, biarlah. Toh tak ada siapa pun di sini, selain
kami berdua, batinmu menenangkan kegelisahan.*
Demak, 30
Juni 2022.
Note
1) Parasit
2)
Tikus
sawah berukuran besar.