Mahli - Ilham Wahyudi

@kontributor 1/29/2023

M a h l i

Ilham Wahyudi





“Iya, Tuan.”

Semenjak Tuan Boka menemukannya (kira-kira usianya satu bulan) dan berlanjut pada fase ia mulai belajar bicara serta mengenal kata, hingga usianya 23 tahun, tak banyak yang keluar dari mulutnya selain kata, “Iya, Tuan”.

Ia selalu luput dari perhatian orang-orang. Ia bagai kemoceng—yang baru akan terlihat ketika debu mulai menebal; mengganggu mata si pemilik rumah—yang tergantung di dinding. Tubuhnya yang kecil-kurus semakin mempertegas ketiadaannya.

Terlahir dari keluarga antah berantah, ia pertama kali ditemukan Tuan Boka di depan sebuah rumah ibadah di suatu malam yang gerimis. Entah siapa yang meletakannya dalam kondisi telanjang-kedinginan di sana. Yang jelas, jika dilihat motif si pelaku meletakkannya di depan rumah ibadah, sepertinya si pelaku berharap ia ditemukan oleh orang saleh yang kelak akan mengajarkannya nilai-nilai kebajikan dan kebenaran.

Asiah, istri Tuan Boka, tentu saja bahagia ketika mengetahui suaminya membawa pulang seorang bayi. 15 tahun penantian Asiah memiliki seorang anak akhirnya menjadi kenyataan. Meskipun bayi itu bukan lahir dari rahim Asiah, tetap saja peristiwa itu berhasil memusnahkan kemurungan yang selama ini menyelimuti hati Asiah. Sebagai rasa syukurnya telah mendapatkan seorang bayi, Asiah pun tulus sepenuh hati mengasuh bayi itu.

Mahli! Bagaimana suamiku, apa kau suka dengan nama itu?” tanya Asiah gembira. Kontan Tuan Boka menganggukkan kepala tanda setuju.  

Hari-hari selanjutnya adalah hari-hari yang penuh kebahagiaan dan suka cita. Tak satu pun kebutuhan Mahli yang luput diberikan Asiah. Mahli benar-benar seperti anak kandung di hadapan Asiah dan Tuan Boka. Saking kelewat bahagia, Asiah malah kurang fokus memerhatikan kebutuhan Tuan Boka dan dirinya sendiri. Semua harus Mahli yang pertama, setelahnya barulah Tuan Boka dan dirinya.

Asiah benar-benar tenggelam dalam rutinitasnya mengasuh Mahli—seolah-olah dunianya hanya Mahli belaka. Mahli yang mulai terlihat lucu, juga menggemaskan.

Namun hidup tak melulu menelurkan kebahagian. Begitu pula hidup Asiah dan Tuan Boka. Tepat saat usia Mahli dua tahun—setelah perayaan ulang tahun Mahli yang sangat mewah—Asiah mendapat panggilan sang penepat janji. Ia pergi meninggalkan Tuan Boka dan Mahli yang masih sangat membutuhkan kasih sayangnya. Tuan Boka yang begitu sangat mencintai istrinya sungguh terpukul; duka yang dalam. Apalagi kepergian Asiah tanpa secuil pun menunjukkan gejala penyakit yang mengkhawatirkan.

Tuan Boka patah hati. Ia merasa cobaan kehilangan istri sangat berat dijalani. Ia begitu terguncang: ia pun mencari-cari kesalahan penyebab kematian Asiah. Tetapi usahanya tidak menemukan hasil. Akibatnya, Mahli menjadi pelampiasan patah hatinya. Tuan Boka mulai tidak peduli pada anak angkatnya itu. Mahli ia biarkan begitu saja tanpa ada yang mengasuh.

Akan tetapi langit belum berkehendak Mahli binasa. Meski tidak diperhatikan Tuan Boka, Mahli terus hidup; tumbuh menjadi seorang anak remaja. Atas jasa seorang pembantu tua di rumah Tuan Boka yang rajin memberi makan-minum Mahli. Namun saat Mahli berusia 14 tahun, pembantu tua itu ikut pula menyusul Asiah.

Tuan Boka yang masih memendam kesal kepada Mahli, bertitah menjadikan Mahli pembantu. Ia kukuh menganggap Mahli penyebab kematian istrinya.

Mahli!”

“Iya, Tuan.”

Sigap Mahli mengambil sebaskom air hangat yang telah ia persiapkan seperempat jam lalu. Mahli buru-buru. Ia sadar betul bila semenit ia terlambat, maka sepanjang hari murka Tuan Boka akan memenuhi sekujur tubuhnya. Bukan hanya itu, jatah makan Mahli pun akan hanyut dijarah murka Tuan Boka.

Selesai mengantarkan air hangat ke kamar Tuan Boka, Mahli kembali ke sudut ruangan rumah. Sejak statusnya berubah menjadi pembantu, Mahli memang hanya diperbolehkan berdiri di salah satu sudut ruangan menunggu perintah-perintah Tuan Boka. Kedua kaki Mahli tidak pernah bergeser seinci pun dari tempatnya berdiri, kecuali jika Tuan Boka memanggilnya. Ia benar-benar serupa patung bila sedang tidak mengerjakan apa-apa.

Mahli yang malang tentu saja pasrah. Tak pernah sekalipun muncul pertanyaan dari mulutnya mengapa ia diperlakukan seperti itu. Namun lambat laun Mahli yang tidak pernah diperhatikan dan tidak pernah benar-benar berhubungan dengan siapa pun akhirnya menyadari keadaannya. Ia sadar keadaannya adalah puncak dari kefanaan di hadapan segala keinginan.

Sebesar apa pun kemarahan Tuan Boka muncratkan kehadapan Mahli, itu tidak akan mengalahkan besarnya api kemarahan dalam jiwanya yang telah ia padamkan, yaitu marahnya sendiri terhadap kehidupan yang harus ditanggungnya, bahkan sejak ia lahir. Setiap detik-menit yang menggumpal menjadi jam dan hari, Mahli belajar menaklukkan seiisi bumi. Meletakkannya di bawah telapak kakinya dengan jalan penerimaan yang luar biasa: tanpa syarat, dan tanpa transaksi.

Mahli!”

“Iya, Tuan.”

Begitulah, setelah mengerjakan satu perintah, Mahli akan kembali ke sudut ruangan tempat kedua kakinya berdiri, mencari bayangan yang jatuh untuk melindungi dirinya dari terlihat. Meskipun Tuan Boka atau para tamu Tuan Boka yang sering berkunjung tahu Mahli ada di sekitar ruangan, Mahli tetaplah patung jika namanya tidak dipanggil. Namun bila namanya dipanggil, tidak perlu meminta dua kali, Mahli akan secepat kilat memahami arti sebuah panggilan, dan untuk keperluan apa ia dipanggil.

Karena itu, tanpa Mahli sadari, telinganya menjadi lebih awas, terbuka, dan hanya paham akan sebuah perintah. Mata Mahli pun menjadi tajam mengawasi seluruh detail sudut rumah dan keadaannya. Tak satu pun luput dari pengamatan dan pengawasan Mahli. Itulah mengapa setiap satu perintah pendek saja masuk ke lorong telinga Mahli, ia dengan mudah mendapatkan gambaran keseluruhannya.

Mahli!”

“Iya, Tuan.”

Sepertinya itu perintah untuk menyiapkan makan malam Tuan Boka. Setiap pukul 18 seperempat, Tuan Boka biasanya akan makan malam. Mahli sudah tahu apa yang harus ia hidangkan serta berapa pula takarannya. Jika keliru, Tuan Boka pasti tidak akan menyentuh makanannya. Bila itu terjadi, alamat Mahli akan tidur di luar rumah.

Mahli yang malang sungguh benar-benar malang. Ia tidak pernah memiliki keinginan sendiri. Hasratnya sudah ia bunuh sejak ingatannya mulai bekerja, dan pembunuhan itu terjadi terus menerus sampai ia dapat menerima bahwa seluruh peristiwa di dunia ini sesungguhnya adalah hasratnya sendiri. Mahli menjadi wadah yang teramat besar dan luas, yang isinya tidak dapat memahami keluasan tempatnya. Namun  Mahli dapat melihat totalitasnya. Mahli memang tidak pernah diperhatikan, tapi Mahli memerhatikan seluruhnya.

Mahli!”

“Iya, Tuan.”

Itu perintah merapikan buku-buku Tuan Boka yang terserak di meja baca. Sejak kematian Asiah, Tuan Boka jadi sering membaca buku untuk menghilangkan kesedihannya. Buku-buku sastra dan buku tentang alam menjadi koleksi Tuan Boka paling banyak tersusun di perpustakaannya. Perpustakaan yang beraroma angker dan suram, sebab minimnya cahaya yang menyinari ruangan.

Mahli memang tidak mengerti isi buku-buku Tuan Boka. Akan tetapi ia sungguh mafhum letak susunan buku-buku itu. Daya ingat Mahli yang kuat telah memberikannya kemudahan dalam menghafal letak setiap buku di perpustakaan Tuan Boka. Bukan hanya itu, Mahli juga memelihara buku-buku itu layaknya seorang kolektor. Meskipun bukan menurut kehendak hatinya, sebab semua kehendak telah ia bunuh; hanya kehendak Tuan Boka yang boleh hidup dalam dirinya.

Mahli!”

“Iya, Tuan.”

Setelah semua rutinitas Tuan Boka selesai, menjelang Tuan Boka beristirahat, Mahli akan menghadap-melaporkan apa saja yang sudah ia kerjakan hari itu. Pada momen itulah Tuan Boka bertanya bagaimana kondisi Mahli dan rumah. Dan Mahli yang malang akan berbicara apa adanya tentang kondisinya, apa yang ia lihat, apa yang ia dengar tanpa satu hal pun yang ia tutup-tutupi.

Mahli memang tidak dapat berbohong. Satu kebohongan dapat melukai pandangan dunia Mahli yang murni dan ia sucikan sebagai bagian paling tak terjangkau dalam kebebasannya. Kebenaran pada Mahli telah membuatnya terlindungi dari intrik orang-orang di sekitarnya. Ia mengetahui semua yang mereka rencanakan dengan licik satu sama lain. Tidak ada yang lebih tahu dari Mahli. Tapi semua menjadi rahasia bumi, dan Mahli adalah seumpama bumi yang menyerap setiap kesucian serta kejahatan tanpa merasa perlu memikirkannya.

Mahli!”

“Iya, Tuan.”

Itu biasanya perintah terakhir Tuan Boka sebelum dia benar-benar terlelap dalam tidurnya, yaitu perintah agar Mahli segara tidur. Tuan Boka tidak ingin Mahli bangun telat. Kalau Mahli telat, semua aktivitas Tuan Boka akan terganggu.

Menjelang tidur Mahli yang sedikit—dengan kondisi tubuhnya yang mulai berpenyakit—Mahli tidak ingin mengingat apa pun yang terjadi pada hari itu, hari sebelumnya, dan hari-hari sebelumnya lagi. Tidak ada peristiwa yang istimewa bagi Mahli untuk diingat, sedangkan peristiwa dirinya yang teramat dahsyat pun mampu ia lupakan.

"Mahli!!!"

"Iya, Tuan.”

Hei, perintah apa pula itu? Sungguh tidak biasa.

 

 

                                                                                                Akasia 11CT

 

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »