M
a h l i
Ilham Wahyudi
“Iya, Tuan.”
Semenjak Tuan Boka menemukannya
(kira-kira usianya satu bulan) dan berlanjut pada fase ia mulai belajar bicara
serta mengenal kata, hingga usianya 23 tahun, tak banyak yang keluar dari
mulutnya selain kata, “Iya, Tuan”.
Ia selalu luput dari
perhatian orang-orang. Ia bagai kemoceng—yang baru akan terlihat ketika debu
mulai menebal; mengganggu mata si pemilik rumah—yang tergantung di dinding.
Tubuhnya yang kecil-kurus semakin mempertegas ketiadaannya.
Terlahir dari keluarga antah
berantah, ia pertama kali ditemukan Tuan Boka di depan sebuah rumah ibadah di
suatu malam yang gerimis. Entah siapa yang meletakannya dalam kondisi telanjang-kedinginan
di sana. Yang jelas, jika dilihat motif si pelaku meletakkannya di depan rumah
ibadah, sepertinya si pelaku berharap ia ditemukan oleh orang saleh yang kelak
akan mengajarkannya nilai-nilai kebajikan dan kebenaran.
Asiah, istri Tuan Boka, tentu
saja bahagia ketika mengetahui suaminya membawa pulang seorang bayi. 15 tahun
penantian Asiah memiliki seorang anak akhirnya menjadi kenyataan. Meskipun bayi
itu bukan lahir dari rahim Asiah, tetap saja peristiwa itu berhasil memusnahkan
kemurungan yang selama ini menyelimuti hati Asiah. Sebagai rasa syukurnya telah
mendapatkan seorang bayi, Asiah pun tulus sepenuh hati mengasuh bayi itu.
“Mahli! Bagaimana suamiku, apa
kau suka dengan nama itu?” tanya Asiah gembira. Kontan Tuan Boka menganggukkan
kepala tanda setuju.
Hari-hari selanjutnya adalah
hari-hari yang penuh kebahagiaan dan suka cita. Tak satu pun kebutuhan Mahli
yang luput
diberikan Asiah. Mahli benar-benar seperti anak kandung di hadapan
Asiah dan Tuan Boka. Saking kelewat bahagia, Asiah malah kurang fokus memerhatikan
kebutuhan Tuan Boka dan dirinya sendiri. Semua harus Mahli yang pertama, setelahnya
barulah Tuan Boka dan dirinya.
Asiah benar-benar tenggelam
dalam rutinitasnya mengasuh Mahli—seolah-olah dunianya
hanya Mahli belaka. Mahli yang mulai terlihat lucu,
juga menggemaskan.
Namun hidup tak melulu
menelurkan kebahagian. Begitu pula hidup Asiah dan Tuan Boka. Tepat saat usia Mahli
dua tahun—setelah perayaan ulang tahun Mahli yang sangat mewah—Asiah
mendapat panggilan sang penepat janji. Ia pergi meninggalkan Tuan Boka dan Mahli
yang masih sangat membutuhkan kasih sayangnya. Tuan Boka yang begitu sangat
mencintai istrinya sungguh terpukul; duka
yang dalam. Apalagi
kepergian Asiah tanpa secuil pun menunjukkan gejala penyakit yang
mengkhawatirkan.
Tuan Boka patah hati. Ia
merasa cobaan kehilangan istri sangat berat dijalani. Ia begitu terguncang: ia
pun mencari-cari kesalahan penyebab kematian Asiah. Tetapi usahanya tidak menemukan
hasil. Akibatnya, Mahli menjadi pelampiasan patah hatinya. Tuan
Boka mulai tidak peduli pada anak angkatnya itu. Mahli ia biarkan begitu saja tanpa ada yang mengasuh.
Akan tetapi langit belum
berkehendak Mahli binasa. Meski tidak diperhatikan Tuan Boka, Mahli
terus hidup; tumbuh menjadi seorang anak remaja. Atas jasa seorang pembantu tua
di rumah Tuan Boka yang rajin memberi makan-minum Mahli. Namun saat Mahli
berusia 14 tahun, pembantu tua itu ikut pula menyusul Asiah.
Tuan Boka yang masih memendam
kesal kepada Mahli, bertitah menjadikan Mahli pembantu. Ia kukuh
menganggap Mahli penyebab kematian istrinya.
“Mahli!”
“Iya, Tuan.”
Sigap Mahli
mengambil sebaskom air hangat yang telah ia persiapkan seperempat jam lalu. Mahli
buru-buru. Ia sadar betul bila semenit ia terlambat, maka sepanjang hari murka
Tuan Boka akan memenuhi sekujur tubuhnya. Bukan hanya itu, jatah makan Mahli
pun akan hanyut dijarah murka Tuan Boka.
Selesai mengantarkan air
hangat ke kamar Tuan Boka, Mahli kembali ke sudut ruangan
rumah. Sejak statusnya berubah menjadi pembantu, Mahli memang hanya diperbolehkan
berdiri di salah satu sudut ruangan menunggu perintah-perintah Tuan Boka. Kedua
kaki Mahli tidak pernah bergeser seinci pun dari tempatnya berdiri,
kecuali jika Tuan Boka memanggilnya. Ia benar-benar serupa patung bila sedang
tidak mengerjakan apa-apa.
Mahli
yang malang tentu saja pasrah. Tak pernah sekalipun muncul pertanyaan dari
mulutnya mengapa ia diperlakukan seperti itu. Namun lambat laun Mahli
yang tidak pernah diperhatikan dan tidak pernah benar-benar berhubungan dengan siapa
pun akhirnya menyadari keadaannya. Ia sadar keadaannya adalah puncak dari
kefanaan di hadapan segala keinginan.
Sebesar apa pun kemarahan Tuan
Boka muncratkan kehadapan Mahli, itu tidak akan mengalahkan
besarnya api kemarahan dalam jiwanya yang telah ia padamkan, yaitu marahnya
sendiri terhadap kehidupan yang harus ditanggungnya, bahkan sejak ia lahir.
Setiap detik-menit yang menggumpal menjadi jam dan hari, Mahli
belajar menaklukkan seiisi bumi. Meletakkannya di bawah telapak kakinya dengan
jalan penerimaan yang luar biasa: tanpa syarat, dan tanpa
transaksi.
“Mahli!”
“Iya, Tuan.”
Begitulah, setelah
mengerjakan satu perintah, Mahli akan kembali ke sudut
ruangan tempat kedua kakinya berdiri, mencari bayangan yang jatuh untuk
melindungi dirinya dari terlihat. Meskipun Tuan Boka atau para tamu Tuan Boka
yang sering berkunjung tahu Mahli ada di sekitar ruangan, Mahli
tetaplah patung jika namanya tidak dipanggil. Namun bila namanya dipanggil, tidak
perlu meminta dua kali, Mahli akan secepat kilat
memahami arti sebuah panggilan, dan untuk keperluan apa ia dipanggil.
Karena itu, tanpa Mahli
sadari, telinganya menjadi lebih awas, terbuka, dan hanya paham akan sebuah
perintah. Mata Mahli pun menjadi tajam mengawasi seluruh detail
sudut rumah dan keadaannya. Tak satu pun luput dari pengamatan dan pengawasan Mahli.
Itulah mengapa setiap satu perintah pendek saja masuk ke lorong telinga Mahli,
ia dengan mudah mendapatkan gambaran keseluruhannya.
“Mahli!”
“Iya, Tuan.”
Sepertinya itu perintah
untuk menyiapkan makan malam Tuan Boka. Setiap pukul 18 seperempat, Tuan Boka
biasanya akan makan malam. Mahli sudah tahu apa yang harus
ia hidangkan serta berapa pula takarannya. Jika keliru, Tuan Boka pasti tidak akan
menyentuh makanannya. Bila itu terjadi, alamat Mahli akan tidur di luar rumah.
Mahli
yang malang sungguh benar-benar malang. Ia tidak pernah memiliki keinginan
sendiri. Hasratnya sudah ia bunuh sejak ingatannya mulai bekerja, dan pembunuhan
itu terjadi terus menerus sampai ia dapat menerima bahwa seluruh peristiwa di
dunia ini sesungguhnya adalah hasratnya sendiri. Mahli menjadi wadah yang
teramat besar dan luas, yang isinya tidak dapat memahami keluasan tempatnya. Namun
Mahli dapat melihat totalitasnya.
Mahli memang tidak pernah diperhatikan, tapi Mahli
memerhatikan seluruhnya.
“Mahli!”
“Iya, Tuan.”
Itu perintah merapikan
buku-buku Tuan Boka yang terserak di meja baca. Sejak kematian Asiah, Tuan Boka
jadi sering membaca buku untuk menghilangkan kesedihannya. Buku-buku sastra dan
buku tentang alam menjadi koleksi Tuan Boka paling banyak tersusun di
perpustakaannya. Perpustakaan yang beraroma angker dan suram, sebab minimnya
cahaya yang menyinari ruangan.
Mahli
memang tidak
mengerti isi buku-buku Tuan Boka. Akan tetapi ia sungguh mafhum letak susunan
buku-buku itu. Daya ingat Mahli yang kuat telah memberikannya
kemudahan dalam menghafal letak setiap buku di perpustakaan Tuan Boka. Bukan
hanya itu, Mahli juga memelihara buku-buku itu layaknya seorang kolektor. Meskipun
bukan menurut kehendak hatinya, sebab semua kehendak telah ia bunuh; hanya
kehendak Tuan Boka yang boleh hidup dalam dirinya.
“Mahli!”
“Iya, Tuan.”
Setelah semua rutinitas
Tuan Boka selesai, menjelang Tuan Boka beristirahat, Mahli akan menghadap-melaporkan
apa saja yang sudah ia kerjakan hari itu. Pada momen itulah Tuan Boka bertanya
bagaimana kondisi Mahli dan rumah. Dan Mahli yang malang akan
berbicara apa adanya tentang kondisinya, apa yang ia lihat, apa yang ia dengar
tanpa satu hal pun yang ia tutup-tutupi.
Mahli
memang tidak dapat
berbohong. Satu kebohongan dapat melukai pandangan dunia Mahli
yang murni dan ia sucikan sebagai bagian paling tak terjangkau dalam kebebasannya.
Kebenaran pada Mahli telah membuatnya terlindungi dari intrik
orang-orang di sekitarnya. Ia mengetahui semua yang mereka rencanakan dengan
licik satu sama lain. Tidak ada yang lebih tahu dari Mahli. Tapi semua menjadi
rahasia bumi, dan Mahli adalah seumpama bumi yang menyerap setiap
kesucian serta kejahatan tanpa merasa perlu memikirkannya.
“Mahli!”
“Iya, Tuan.”
Itu biasanya perintah terakhir
Tuan Boka sebelum dia benar-benar terlelap dalam tidurnya, yaitu perintah agar Mahli
segara tidur. Tuan Boka tidak ingin Mahli bangun telat. Kalau Mahli
telat, semua aktivitas Tuan Boka akan terganggu.
Menjelang tidur Mahli
yang sedikit—dengan kondisi tubuhnya yang mulai berpenyakit—Mahli
tidak ingin mengingat apa pun yang terjadi pada hari itu, hari sebelumnya, dan hari-hari
sebelumnya lagi. Tidak ada peristiwa yang istimewa bagi Mahli
untuk diingat, sedangkan peristiwa dirinya yang teramat dahsyat pun mampu ia
lupakan.
"Mahli!!!"
"Iya, Tuan.”
Hei, perintah apa pula
itu? Sungguh tidak biasa.
Akasia 11CT