Pesan Universal Tokoh Utama ala Jessica Brody - Sapta Arif N.W.

@kontributor 3/12/2023

Sapta Arif N.W.

Pesan Universal Tokoh Utama ala Jessica Brody



Keberadaan karya sastra sebagai refleksi realitas memang benar adanya. Malah kadangkala kita membayangkan sebuah kehidupan ideal yang ada di dalam karya sastra. Meski seringkali, dari karya sastra pula kita menemukan konflik permasalahan yang bahkan tidak pernah kita bayangkan di kehidupan nyata. Itulah sebabnya, ketika menelurkan karya, seorang sastrawan tidak main-main dalam melakukan riset. Diperlukan renungan hingga melancong ke tempat jauh untuk menemukan yang sesuatu disebut dengan ilham. Tidak sampai di situ, untuk merangkai jalinan kalimat yang enak dan apik, mereka harus berjibaku dengan beragam hal. Mulai dari kesulitan teknis, hingga non teknis. Jadi, jika pun, seorang penulis tidak memikirkan pesan/ amanat dalam proses kreatifnya, sesungguhnya secara otomatis telah tersemat dalam karya. Menyatu seperti bagian tubuh telur yang berisi cangkang, putih telur, dan kuning telur.

Dalam seni menulis cerita, peran tokoh utama atau akrab disebut dengan tokoh protagonis memiliki peran vital dalam jalannya cerita. Jessica Brody, dalam buku “Save The Cat! Writes a Novel” edisi terjemahan penerbit Noura, mengatakan bahwa hero/ tokoh utama adalah panduan penulis untuk berjalan menuju dunia fiksinya. Si tokoh utama inilah yang akan digunakan pembaca untuk melacak kemajuan cerita.

Ketidaksempurnaan karakter tokoh utama seolah menjadi pakem menciptakan karakter yang kuat. Mari kita simak tokoh Ahmadi si Kumis tebal yang menyebalkan dalam novel ‘Lampuki’ karya Arafat Nur. Melalui sudut pandang narasi dari tokoh Tengku, Arafat Nur menceritakan bagaimana tabiat buruk Ahmadi. Penulis berdarah Aceh ini menciptakan bias mengenai siapa tokoh protagonisnya. Apakah Ahmadi atau si narator? Dalam menjalani hidup, Ahmadi seringkali menemukan kesulitan-kesulitan. Selain karena dia adalah seorang pemberontak, tabiat buruknya menjadikan Ahmadi dijauhi warga desa. Belum lagi karakter istrinya yang tak kalah kejam dan menyebalkan.

Mari kita juga menengok tokoh Ajo Kawir dalam novel ‘Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas’ karya Eka Kurniawan. Tokoh utama digambarkan sebagai lelaki maskulin yang sayangnya memiliki ‘aib’. Burungnya tidak bisa berdiri! Hal ini menciptakan konflik internal di batin Ajo Kawir. Hingga puncaknya, dia diselingkuhi oleh istrinya. Iteung—istri Ajo Kawir—hamil! Sedangkan Ajo Kawir tak bisa ‘ngaceng’. Kita juga mengenal sosok Jeng Yah garapan Ratih Kumala dalama Gadis Kretek. Atau sosok Magi Diela dalam Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam garapan Dian Purnomo. Dan masih banyak lagi contoh karakter dalam novel yang berhasil digambarkan secara matang oleh penulisnya.

Secara ringkas, Jessica Brody berargumen bahwa tokoh utama yang baik adalah tokoh yang benar-benar ‘layak diceritakan’. Lalu apa indikator tokoh itu layak diceritakan? Pertama, tokoh utama harus memiliki masalah. Masalah yang terjadi pada tokoh utama tidak harus dalam permasalahan secara fisik atau eksternal. Novel yang memiliki daya ulik yang dalam, biasanya menyuguhkan konflik batin yang kuat. Atau Jessica Brody menyebutnya dengan si tokoh utama yang memiliki kekurangan dan harus memperbaikinya. Permainan konflik psikologi tokoh acapkali menjadi senjata penulis dalam meramu jalinan kisah.

Kedua, keinginan. Keinginan berkaitan tujuan yang akan dikejar oleh tokoh utama. Ketiga, kebutuhan. Yang ketiga ini berkaitan erat dengan pelajaran hidup yang mesti disadari. Atau lebih hemat dikatakan begini, tokoh utama yang layak diceritakan adalah tokoh yang memiliki masalah, namun berkeinginan menyelesaikan masalahnya, hingga dia menyadari satu hal penting dalam dirinya di akhir cerita.

Pembaca Haruki Murakami akrab dengan pola tiga babak dalam bercerita. Pola ini diakuinya diadaptasi dari penulis yang difavoritkan, Raymond Chandler. Pola tiga babak ala Murakami dikenal sebagai berikut: kehilangan, mencari, dan menemukan hal baru. Kehilangan dalam hal ini berkenaan dengan konflik internal tokoh utama. Novel-novel Murakami dikenal memiliki konflik pencarian jati diri yang kuat. Di samping gesekan anak konflik yang saling anyam membentuk konflik utama yang kompleks.

Baik pola Murakami maupun Jessica Brody, kita menemukan satu persamaan bahwa konflik internal yang kuat diperlukan penulis untuk membangun kekuatan cerita. Kekuatan karakterisasi dari pengarang tentu sudah menjadi hal yang wajib. Dalam bukunya, Jessica Brody malah menurunkan konflik internal ini menjadi sepuluh pelajaran universal yang bisa dijadikan opsi oleh calon penulis.

Pertama, pengampuan. Baik pada diri sendiri maupun pada orang lain. Kedua, cinta, yaitu bisa cinta pada diri sendiri, cinta keluarga atau cinta romantis. Ketiga, penerimaan, bisa terhadap diri sendiri, orang lain, pada dunia, atau bahkan pada Tuhan. Keempat, keyakinan, bisa pada diri sendiri, pada orang lain, pada dunia, atau bisa juga pada Tuhan. Kelima, ketakutan. Dalam hal ini tokoh akan menghadapinya, menaklukannya, dan bisa juga menemukan keberanian sejati. Keenam, kepercayaan. Ketujuh, ketahanan hidup. Kedepalapan, penaklukan ego. Kesembilan dan kesepuluh adalah tanggung jawab dan penebusan.

Pelajaran universal yang dikemukakan Jessica Brody ini berkaitan erat dengan kebutuhan internal atau kebutuhan batin tokoh. Sebuah kebutuhan yang awalnya tidak disadari hingga menciptakan solusi-solusi yang bersifat semu. Hingga tokoh itu belum menyadari nilai pelajaran universal yang dihadapi/ didapatkannya maka kisahnya tidak akan menemukan ujung cerita. Jessica Brody mengatakan bahwa tokoh utama yang baik adalah dia yang mengalami transformasi diri. Perubahan internal pada diri tokoh utama dalam hal ini layak untuk digarisbawahi. Maka, secara otomatis jika kita berbicara transformasi diri, nilai atau pesan kehidupan sudah pasti melekat. Begitulah cara pengarang menyisipkan nilai/ pesan/ amanat dalam ceritanya.  []

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »