Bahasa dan Apa-Apa yang Tak Sekadar Hanya - Polanco S. Achri

@kontributor 5/07/2023

Bahasa dan Apa-Apa yang Tak Sekadar Hanya

Polanco S. Achri

 



            I

Sebuah pertanyaan begitu betah menetap di kepalanya, sebuah pertanyaan tentang pentingkah pelajaran bahasa bagi seorang manusia. Amatlah lekas dia bisa berkata bahwa pelajaran bahasa itu penting dan berguna. Akan tetapi, ketika pertanyaan tersebut dilanjutkan dengan pertanyaan kenapa atau seberapa penting nilainya, seketika dia mendapati bahwa alasan di kepalanya tak genap cukup kuat dan berdaya. Dulu, di kepalanya, pertanyaan yang demikian hanya sejenak hinggap dan sejenak pergi. Akan tetapi, semenjak nasib yang getir berhasil memaksanya menjadi seorang sarjana sastra, lantas dengan keras menyeretnya menjadi seorang guru bahasa pada sebuah sekolah menengah kejuruan di barat kota-madya, pertanyaan itu jadi begitu betah menetap di kepalanya yang tak lagi diizinkan gondrong oleh tempat kerja; menetap di kepalanya dan berdesakan dengan soalan tentang puisi, prosa-fiksi dan naskah drama.

Dalam beberapa kesempatan, dia sering mendapati orang-orang berkata: Untuk apa pula belajar bahasa jika sudah bisa menulis, membaca, dan berbicara? Dan sebab mendapati ucapan dan pernyataan yang demikian, dia pun menyadari bahwa persoalannya, yang pertama-tama, setidaknya ada pada soalan pemahaman bahasa. Betapa, selama ini, dia kerap mendapati bahwa orang-orang memahami bahwa bahasa tak lebih dari sekadar alat komunikasi belaka. Dia beranggapan, tidaklah genap salah bila memahami bahasa sebagai alat komunikasi antarmanusia. Akan tetapi, betapa dengan demikian, pikirnya, seseorang telah menempatkan bahasa pada wilayah yang tak semestinya: menempatkan bahasa pada wilayah perkakas dan benda-benda! Oleh karena itu, dia tak lagi heran bila telah jamak didengar telinga tentang banyaknya pertanyaan bergunakah pelajaran bahasa. Dan betapa, kala demikian, dia gemar mengingat buku pengantar Ilmu Bahasa itu; mengingat buku yang berkata bahwa kehadiran bahasa sebagai alat komunikasi adalah salah satu fungsi, dari sekian dan sekian fungsi, dan belum menunjukkan esensi daripada bahasa itu sendiri!

 

            II

Sejak kanak, di samping cerita dewa-dewi, cerita tentang pangeran dan putri-putri, dia begitu suka pada kisah nabi-nabi; dan baru belakangan, ketika menempuh pendidikan di jurusan sastra, dia menyadari bahwa di sanalah dapat ditemukan salah satu alasan kenapa bahasa penting dipelajari. Dalam kisah Nabi Adam, dia mengingat bahwa sekalian makhluk diminta bersujud dan memberi hormat kepada Adam; tetapi ada makhluk yang enggan, dan malah mengajukan tanya. Karenanya, Tuhan meminta sekalian makhluk menyebutkan nama benda-benda, dan tak ada yang bisa; dan kepada Adam, Tuhan memerintahkan, dan Adam pun menyebutkan sekalian nama benda-benda dengan begitu lancarnya. Tentu, dia paham, dan memahami, bahwa kisah itu ada di wilayah keimanan—yang mana alat takarnya bukanlah hanya soalan rasional. Akan tetapi, dari sana, dia menyadari tentang soalan yang penting, menyadari bahwa bahasa adalah khas manusia, adalah yang membuat manusia menjadi tinggi derajatnya dibanding sekalian makhluk lainnya.

            Dia pun mengingat, selama ini, sekalian orang melihat kerja menamai sebagai suatu hal yang sederhana. Padahal, kerja menamai tak pernah sesederhana itu. Dalam menamai, pikirnya, setidak-tidaknya, seseorang harus mengetahui beda dan samanya, harus mengetahui serupa dan tak serupa sesuatu itu dengan apa. Dan hal yang demikian, baginya, setidak-tidaknya, telah menunjukkan bahwa manusia memiliki sesuatu yang dapat disebut akal-budi! Dan, dia pun teringat pada beberapa buku pengantar Ilmu Bahasa dan Antropologi yang pernah dibacanya di perpustakaan kota; dan menyebutkan bahwa tiap hewan itu berkomunikasi, tetapi hanya manusia saja yang berbahasa. Dia paham dan mengerti, selepas membaca buku yang demikian, bahwa pandangan dari buku tersebut amatlah antroposentris. Akan tetapi, baginya, pernyataan yang demikian telah menunjukkan setidak-tidaknya bahwa bahasa adalah khas manusia!

 

III

Dia pun terbawa pada sebuah novel karya Shion Miura, Merakit Kapal; dan semenjak membaca novel dan menonton adaptasinya, dia begitu terpukau pada definisi kata atau lema utara dalam kamus bahasa. Betapa, dia makin menyadari bahwa tanpa bahasa, manusia tak bisa membedakan utara dan selatan, timur dan barat; tak bisa membedakan kanan dan kiri, duka dan bahagia, benci dan cinta. Oleh karenanya, dia pun mengamini ucapan ahli bahasa itu, mengamini ucapan Saussure, mengamini bahwa dengan bahasa manusia mengenal dan memeluk realita—memahami realita. Dan karena dia adalah pengarang fiksi dan drama, dia pun pernah membayangkan tentang bagaimana dunia tanpa bahasa, tentang bagaimana manusia tanpa bahasa; dan lantas, mengakhiri semacam pembayangan itu dengan bertanya pada dirinya sendiri:

Apakah sebelum manusia sudah ada konsep duka dan bahagia?

Dia tak memungkiri adanya kepentingan masyarakat, dan kenyataan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Akan tetapi, dia meyakini, dan tetap berupaya mencari bukti, bahwa bila manusia benar-benar bisa hidup sendiri, manusia tetap membutuhkan bahasa. Karenanya, dia beranggapan, dan berupaya mencari pembuktian, bahwa sebelum menjadi makhluk sosial dan makhluk pekerja, manusia lebihlah dahulu hadir sebagai makhluk simbol dan lambang. Tangis bayi dan mantra, pikirnya, meski belum genap dapat dimasukan dalam pengertian dan kategori bahasa, telah menunjukkan keinginan dari seorang manusia untuk menyentuh realita, memahami jagatnya, memahami segala sesuatu—seperti diri dan Yang Ada.

 

            IV

Dia, sebagai seorang yang dipaksa nasib menjadi guru bahasa, meyakini bahwa pelajaran bahasa berguna bukan sebab fungsinya, tapi sebab esensi yang membersamainya. Baginya, pelajaran bahasa bukan hanya soalan komunikasi, tapi soal kodrat dan tanggung jawab: konsekuensi menjadi manusia! Dengan bahasa, manusia mengembangkan kodratnya; manusia menjadi wakil Tuhan di dunia, dan karenanya manusia tak boleh merusak dan menghancurkan, melainkan mesti hadir untuk memahami dan menata dunia dengan bahasa, melakukan kerja kodifikasi yang bukan hanya berakhir pada data. Sederhananya, meski jelas tak pernah sederhana, pikirnya, manusia mestilah mengelola: merawat dan membawa pada tingkat yang luhur mulia.

            Bahasa, baginya, sama pentingnya dengan kesadaran akan kemanusiaan. Manusia yang sadar adalah manusia yang berbahasa. Dan seperti buku yang pernah dibacanya, dia mengamini bahwa kemampuan berbahasa dapatlah dikata sebagai bukti manusia bisa menjadi unggul dan mulia—tanpa menghinakan yang lainnya, tanpa merendahkan yang lainnya. Betapa, dia juga mengamini ucapan profesor antropologi dari kampus ternama itu, ucapan daripada Tuan Sartono Kartodirdjo, bahwa dengan bahasa, segala soalan yang sifatnya ide, kesadaran manusia, dan alam pikiran, segala soalan tentang memori, imajinasi, dan fantasi, distrukturkan! Ah, dan betapa betah dia memahami bahwa bahasa menciptakan realitas itu sendiri!

            Dan ia pun mengingat ada seorang ahli biologi dari Swiss, Adlof Postmann, pernah berkata bahwa manusia adalah makhluk hidup yang terlahir dengan prematur—sebab betapa manusia membutuhkan bantuan induknya untuk bertahan hidup sampai usia tertentu. Akan tetapi, meski demikian, dia pun memahami bahwa di alam yang begitu liar bahasa membuat apa-apa yang dipandang-dengar dan rasa manusia jadi lebih tertata. Bahasa, dengan demikian, membawa manusia pada penemuan-penemuan—dan membuatnya bertahan di alam yang liar. Dengan bahasa, ucapnya pada suatu kesempatan, ketika ditanyai seorang kawan, manusia dapat menjinakkan alam yang liar, menjinakkan pikirannya yang brutal!

 

            V

Akan tetapi, meski manusia begitu merasa unggul dengan bahasa, dia pun memahami, bahwa bahasa juga punya banyak kekurangan—tak genap bisa dipakai memahami dunia dan realita. Ada hal-hal yang membuat bahasa terbatas; dan ada apa-apa yang membuat manusia terbatas. Senantiasa ada yang luput dan lepas, ucapnya pada suatu kesempatan kala memandang bintang dari halaman belakang. Namun, dia meyakini, manusia dan bahasa tak pernah berhenti di sana, dan memang tak pernah demikian adanya; manusia dan bahasa menyadari bahwa mereka mesti melampaui diri mereka dengan tetap berpijak kepada buminya: dan mereka mendapati metafora dan metonimia, mereka mendapati sastra-susastra!

            Dia pun segera menuju ruang kerjanya yang dipenuhi rak buku, ruang kerja yang adalah warisan si mbahnya yang begitu rajin merawatnya serupa ibu kedua. Dia pun menulis sebuah esai yang hendak dikirimkannya ke sebuah media. Amatlah sadar bahwa kemampuan bahasanya belumlah punya genap daya, dan mungkin tak memahamkan sekalian pembaca nantinya. Akan tetapi, sebab keyakinannya kepada bahasa, dia pun mencoba—dan memikirkan kembali bahasa dan realita, manusia dan segala kodrat juga tanggung jawabnya dengan dan kepada bahasa. Dia pun begitu ingin berkata kepada seorang gadis manis yang entah di mana:

            Aku mencintaimu dengan segala yang kupunya. []

 

(2020—2023)

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »