Tuan Rumah yang Kelima - Iin Farliani

@kontributor 5/07/2023

Tuan Rumah yang Kelima

Iin Farliani






“Kami harus cepat pindah. Malam ini kami ingin tidur di sini,” ucap si pemuda. Ia memasang sikap duduk tegang. Tetesan air tak henti menetes dari pakaiannya membentuk genangan di ubin.

            Tuan Rumah melihat ke arah genangan air di kaki sofa. Sesaat dia berpikir rumahnya akan kebanjiran akibat genangan yang tetesannya terus mengucur dari pakaian si pemuda. Dari belakang, seorang gadis membawakan handuk. Istri si pemuda mengucapkan terima kasih. Setelah membalut handuk di tubuhnya, ia lalu menggilir handuk itu ke suaminya. Dengan gigi gemelutuk menahan dingin, pemuda itu segera menyelimuti kedua bahunya.

            “Bukankah berdasarkan perjanjian, baru satu bulan lagi kalian akan pindah ke rumah ini? Mengapa begitu tiba-tiba?” Tanya si Tuan Rumah.

            Si perempuan dan suaminya saling memandang. Haruskah mereka menceritakan semuanya? Menceritakan serinci mungkin alasan kepindahan mereka yang begitu mendadak kepada Tuan Rumah yang Kelima__ya mereka menyebutnya seperti itu__perihal perilaku Tuan Rumah Keempat yang hampir membunuh mereka.

            Usai menyesap teh hangat yang disodorkan oleh gadis rumah yang ramah, perempuan itu pun mulai menyusun cerita lengkapnya. Maka ia mulai bercerita. Tidak hanya riwayat Tuan Rumah Keempat, tapi dimulai secara berurut dari Tuan Rumah Pertama.

            “Tiap kali mengingat Tuan Rumah Pertama, kakus di rumah sewanyalah yang paling teringat. Ia adalah seorang duda beranak tujuh. Ia selalu menekankan pada kami bahwa dirinya memiliki tujuh putri dan itu membuatnya sering mengalami kesusahan untuk membesarkan mereka. Rumah itu memiliki tiga kamar. Dua kamar untuk tujuh anak itu. Kamar yang sempit. Sulit membayangkan dua kamar dibagi untuk tujuh putri. Kami menerima tawarannya. Ia adalah Tuan Rumah yang tidak jujur. Setiap kali musim hujan, kami begitu menderita. Isi kakus akan meluap, membanjiri ubin kamar mandi. Bau kotoran sampai ke dapur kami. Kalau sudah begitu tidak akan ada nafsu makan. Tidak hanya itu, kami tidak bisa tidur tenang kalau malam turun hujan lebat. Kami sibuk membersihkan kakus, takut kalau kotoran yang keluar dari sana akan membanjiri juga kamar tidur kami. Inilah sebabnya. Ia tidak menceritakan kalau sebenarnya parit di depan rumah yang penuh sampah warga adalah juga tempat saluran pembuangan kakus dari rumah sewa itu. Maka ketika parit meluap karena banjir, kakus di rumah itu juga akan meluap. Menjijikkan! Selama beberapa bulan ia menghilang sehingga kami tidak bisa segera pindah dari sana. Wujud isi kakus yang membanjiri ubin benar-benar tercetak di ingatan kami dan hanya menimbulkan kebencian tiap kali mengingatnya.”

            Wajah perempuan itu berubah pucat. Tuan Rumah Kelima memandang khidmat sambil dengan sopan menawarinya untuk meminum lagi teh hangat yang masih mengepul. Barangkali kehangatan teh itu akan mengusir jauh-jauh ingatan buruk tentang kakus menjijikkan itu. Perempuan itu mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Sesudah menyesap sekali lagi tehnya, ia kembali bercerita.

            “Tuan Rumah Kedua adalah seorang laki-laki yang sepantaran denganku. Ia sudah menikah dan memiliki anak. Rumah yang disewakan pada kami berhadapan dengan toko kelontong miliknya. Hanya dipisahkan jalan yang tak begitu lebar. Beberapa pengendara motor kadang-kadang lewat di sana. Ia mempekerjakan para remaja lelaki untuk membantunya mengangkut tabung gas, galon, kardus-kardus makanan, juga barang-barang pecah belah yang dijual di toko itu. Para remaja itu lebih sering melepas lelah di teras kecil rumah sewa kami. Teras yang betul-betul kecil. Hanya terdiri dari dudukan semen tak seberapa lebar yang sebenarnya lebih berfungsi sebagai pembatas jalan. Tentu mereka dengan mudah menyeberang dari toko kelontong menuju teras kami yang jaraknya hanya selemparan batu lantas melepas lelah di situ. Mulanya kami tidak keberatan. Tak ada masalah sama sekali bila mereka hanya duduk santai di sana. Tetapi mereka sering membuat keributan sehingga aku dan suamiku tidak bisa beristirahat dengan tenang. Keributan yang disertai umpatan kotor. Kata-kata paling kotor yang pernah kami dengar dilontarkan hingga tengah malam. Juga bau asap rokok yang menyesakkan. Kami sudah sering memperingatkan mereka untuk tidak membuat keributan. Tetapi mereka tidak mempedulikan. Selama berhari-hari mereka terus saja mengulang keributan yang sama hingga suatu hari aku berani menghardik, mengancam akan melaporkan mereka ke polisi. Aku bahkan mengumpat salah satu yang paling dituakan di kelompok itu dengan sebutan ‘anak bebal dan sial.’ Esoknya kami melihat sampah bertebaran di teras kecil. Aku kira karena ditiup angin. Tetapi hari-hari berikutnya sampah semakin bertambah. Membentuk gundukan di teras. Tentu saja itu ulah seseorang. Sebab dari hari ke hari gundukan sampah itu semakin tinggi hampir menyamai dada orang dewasa. Sampah itu terdiri dari sisa-sisa barang kelontong. Suatu hari ketika sedang membersihkan teras, aku melihat ke arah kelompok remaja yang sedang tertawa-tawa sambil melihat ke arahku dari toko kelontong. Dan inilah yang mengerikan! Tuan Rumah Kedua terlihat menyembul di antara kepala para remaja itu. Ia juga tertawa bersama mereka. Tawa bahagia dan mengejek. Selama ini ia bersikap pura-pura tidak tahu menahu dengan apa yang terjadi. Belakangan kuketahui sikapnya yang membiarkan ulah para remaja itu karena ia mempekerjakan mereka dengan hanya memberi upah jajanan dan rokok. Ia tentu tidak ingin kehilangan tenaga murah demi keberlangsungan toko kelontongnya. Ia itu kapitalis kecil!”

            Perempuan muda itu mengatur napasnya sejenak. Matanya terlihat berair. Tuan Rumah Kelima mengira barangkali perempuan itu menjadi sedih sebab tiba-tiba mengingat lagi kejadian yang tidak mengenakkan itu. Tetapi dengan segera perempuan itu menjadi tenang kembali dan mulai melanjutkan ceritanya.

            “Tuan Rumah Ketiga adalah seorang kakek yang memiliki rumah besar dan halaman yang luas. Selama menyewa rumah besarnya, ia tinggal seorang diri di rumah kecil yang letaknya terpisah rimbun kebun pisang dari rumah sewa itu. Tingkahnya benar-benar aneh. Ia masih sering memperlakukan rumah yang kala itu disewakan pada kami dengan sikap seolah-olah ia masih tinggal di rumah itu. Setiap hari ia datang pagi-pagi sekali untuk menyapu halaman di sana, menyiram tanaman, membongkar bekas kandang bebek lalu siangnya mendatangkan tukang untuk memperbaiki kandang itu. Suara gergaji dan palu bertalu-talu di halaman. Membuat waktu istirahat kami menjadi tidak nyaman. Kami merasa tidak enak menegurnya karena ia orang tua. Dan yang lebih mencengangkan, tamu-tamu si kakek tetap datang ke rumah sewa untuk mencarinya alih-alih ke rumah kecil yang kini ditempatinya. Setiap ada tamu yang datang, aku perlu menjelaskan berulang-ulang bahwa si kakek sudah tidak tinggal di rumah besar itu sebab telah disewakan kepada kami. Tetapi di hari-hari selanjutnya tamu-tamu terus berdatangan. Ada yang memanggil dengan teriakan, menggedor pintu, mengetuk kaca jendela. Ada yang terus memanggil nama si kakek sambil mengelilingi rumah. Ada juga yang tetap bertahan menunggu dekat kandang bebek hingga pintu dibukakan. Karena bosan memberi penjelasan yang sama, setiap ada tamu yang datang kami berlaku hening di dalam rumah seakan rumah sedang kosong agar mereka lekas pergi. Tetapi esoknya, meski kami pernah memberitahu pada mereka bahwa si kakek telah pindah ke rumah kecil di seberang, tamu-tamu terus berdatangan. Hari-hari kami tidak pernah tenang. Akhirnya kami memutuskan pindah.”

            Si perempuan menunjukkan wajah kelegaan. “Dan inilah cerita terakhir. Tuan Rumah Keempat. Dari cerita ini barangkali Anda akan mengerti mengapa kami berdua basah kuyup di hari hujan datang kemari sore ini,” ujarnya. Ia melirik ke arah suaminya yang mendadak memberi isyarat untuk menggantikannya bercerita sebab ia mengira tentu istrinya telah lelah sedari tadi. Tetapi si perempuan memberi isyarat penolakan. Tuan Rumah Kelima masih memandang dengan khidmat. Cerita kemudian dilanjutkan.

            “Tuan Rumah Keempat, tidak jelas apakah ia seorang bujangan tua ataukah telah berumah tangga. Tetapi desas-desus mengatakan, ia telah menduda lama sekali sejak ditinggal istrinya pergi ke kota besar serta membawa pula anak-anak mereka. Rumah sewa milik Tuan Rumah Keempat penuh dengan pohon pepaya dan kelor. Ada juga beberapa jenis sayuran. Ia Tuan Rumah yang baik. Setidaknya itulah kesan awal yang sampai padaku. Ia tahu di hari kepindahan itu suamiku sedang tugas di luar kota. Ia menawarkan bantuan apa saja yang menurutnya barangkali tidak bisa kuatasi sendiri seperti memperbaiki kop lampu dapur dan memasang lampu kamar mandi atau menguatkan topangan tiang-tiang jemuran. Aku membiarkannya mengangkut rak-rak bukuku. Ia semakin sering datang membantu dan menginap di rumah sebelah miliknya. Sejak ia menginap di rumah sebelah, aku mulai tahu kebiasaannya. Ia suka memutar musik disko dan berjoget sendiri. Ia bahkan dengan sengaja mempertontonkannya dengan membuka pintu rumah lebar-lebar. Orang-orang yang kebetulan lewat tertawa melihat tingkahnya. Setiap hari ia menyetel musik disko dan berjoget riang. Waktu itu baru tiga bulan kami menempati rumah sewanya. Suamiku sudah pulang dari luar kota. Suatu hari Tuan Rumah Keempat mendatangi kami dalam keadaan linglung. Tercium bau tubuh yang menyengat. Ia datang meminta uang sewa rumah. Aku terkejut. Aku mengingatkannya kalau aku telah membayar lunas seluruh biaya sewa hingga satu tahun ke depan di hari pertama kepindahanku. Tetapi ia bersikeras mengatakan belum pernah menerima sepeser pun uang dariku. Karena ia terus ngotot, aku menudingnya bahwa ialah yang berpura-pura. Ia mengancam kami, mengeluarkan serangkaian kata-kata kotor yang membuat tubuhku menggigil ketakutan. Betapa berbanding terbalik sikap yang telah ia tunjukkan dari kesan pertama!”

            Perempuan itu menarik napas sebentar. “Esoknya musik disko masih terdengar dan kali ini lebih keras. Benar-benar menyakiti telinga kami. Suamiku ingin memberi teguran. Tetapi betapa terkejutnya kami ketika keluar, seluruh pohon pepaya dan kelor telah terhempas ke tanah. Tak ada satu pun yang tak ditebang. Dari kerimbunan batang yang rebah, Tuan Rumah Keempat muncul sambil mengacung-acungkan parang. Ia hanya mengenakan celana kolor. Dadanya yang telanjang berkilat oleh keringat. Ia mengeluarkan seruan yang mengancam dan parang itu diayunkan terus menghadap langit. Meski petugas keamanan telah memperingatkannya, tetap saja menjelang malam aku tidak bisa tidur tenang. Ketakutan ini telah berlangsung berhari-hari. Selalu saja terbayang seandainya tengah malam ia mendatangi kami dengan parangnya. Untuk itulah kami ingin mempercepat kepergian dari rumah itu. Biar saja barang-barang kami akan dipindahkan besok.”

            Cerita berakhir. Malam itu pasangan suami istri berkumpul di beranda bersama tuan rumah mereka yang baru. Si perempuan teringat akan sesuatu yang sejak tadi ingin ia utarakan dengan ketulusan murni. “Dan Andalah Tuan Rumah yang Kelima. Tuan Rumah baik hati yang telah sudi menolong kami. Terima kasih atas pengertiannya.” Tuan Rumah Kelima ialah seorang laki-laki tua bermata kuyu. Dia tak tahu harus menjawab apa. Tetapi dia merasa senang dengan kehadiran pasangan muda itu.

            Suami si perempuan kemudian menambahkan, “Doakan suatu saat kami bisa memiliki rumah sendiri hingga tidak perlu lagi berpindah-pindah seperti ini dan mengalami serangkaian pengalaman tidak mengenakkan dengan tuan rumah yang aneh-aneh.” Pemuda itu menyunggingkan senyum.

            Satu hal yang ingin Tuan Rumah Kelima katakan kepada pasangan itu bahwa dia merasa cukup senang karena kesunyian yang telah lama dideritanya terpecahkan oleh kehadiran mereka. Dia juga ingin memberitahu tentang gadis yang membawa handuk dan nampan teh tadi bukanlah pembantu rumah seperti yang disangka oleh mereka, melainkan ialah anaknya sendiri. Anak itu bisu sejak masih bayi. Kesunyian itu dipertebal pula oleh kematian istri tercintanya. Tetapi dia menyimpan saja ceritanya hingga esok hari sebab pasangan itu telah siap berkemas akan tidur. Tuan Rumah Kelima pun bergegas kembali bersama putrinya menuju rumah lama mereka.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »