Musik dan Resiliensi Cinta
S. Prasetyo Utomo
DUA puisi yang
ditulis Hilmi Faiq menjadi menarik untuk saya analisis dalam esai ini setelah
digubah Ananda Sukarlan dalam musik Tembang Puitik Volume 8. Saya mengenal
Ananda Sukarlan sebagai satu-satunya orang Indonesia yang tercatat dalam buku The
2000 Outstanding Musician of the 20th Century, yang berisi
riwayat hidup 2.000 orang yang berdedikasi di dunia musik. Musik-musiknya
menggunakan elemen-elemen etnik Indonesia. Ia seorang komponis yang produktif,
karyanya mencakup hampir semua instrumen. Tahun 2020 ia dilantik menjadi
Presiden Dewan Juri Queen Sofia Prize di Spanyol, sebuah ajang penghargaan
tertinggi musik klasik di Eropa.
Bagi Ananda
Sukarlan, “puisi itu musik, dan musik itu puitis”. Karena itu, wajar bila
melalui puisi lahirlah berbagai inspirasi untuk mencipta musik. Ia merasa
berterimakasih terhadap para penyair besar yang telah memberi inspirasi untuk
menulis banyak sekali musik. Ia menerbitkan buku Tembang Puitik Volume 8. Lagu-lagunya
diangkat dari berbagai puisi karya penyair ternama Indonesia, dengan beragam
tema.
Dua puisi yang saya bicarakan dalam esai
ini adalah karya Hilmi Faiq berjudul “Kapokmu Kapan” dan “Beda Keyakinan”. Eksplorasi
kedua puisi karya penyair ini memiliki napas tematik yang sama, yakni tentang upaya
melakukan resiliensi cinta. Dua puisi itu menghamparkan sugesti bagi manusia
untuk membuka cakrawala cinta. Hilmi Faiq merupakan penyair yang memanfaatkan
kekuatan kalbu, dan menemukan ketajaman diksi untuk menyampaikan satire,
paradoks, dan bahkan sarkasme. Ia melakukan eksplorasi pada empati humanisme.
***
KEKUATAN puisi Hilmi
Faiq terletak pada konstruksi pilihan kata untuk mencapai permainan makna. Saya
merasakan benar bahwa ia sengaja bermain-main dengan pilihan kata yang komunikatif
untuk mencapai ungkapan-ungkapan paradoks, simulakra, dan kesadaran akan nilai
keilahian. Ia memasuki problematika kehidupan mutakhir dan menuangkannya dalam ungkapan-ungkapan
yang dikemas melalui satire.
Dalam puisi “Kapokmu
Kapan”, Hilmi Faiq bermain-main dengan paradoks dan sindiran mengenai penyimpangan
norma agama pelaku bom bunuh diri. Perilaku radikal ini menyebabkan keluarga
pelaku bom bunuh diri dikucilkan masyarakat. Mereka diposisikan sebagai musuh
negara. Pelaku bom bunuh diri menduga kekerasan yang dilakukan terhadap korban
merupakan jalan suci religiositas untuk mencapai surga. Akan tetapi, dalam
pandangan penyair, jalan yang ditempuh itu justru menyesatkan rohnya tak bisa
kembali ke hadapan Tuhan: Tuhan mana yang membangun surga/ di atas tetesan
darah dan jerit tangis manusia?// Di rumah Tuhan, tempat doa-doa menjalari
hati/ mewujud helai-helai damai/ berbalik menakutkan karena ledakan//.
Kata-kata yang dimanfaatkan Hilmi
Faiq diambil dari komunikasi sehari-hari manusia untuk mengembalikan kepekaan cinta
pada sesama dan Sang Pencipta. Kata-kata tidak lagi dikemas dalam simbol.
Dengan kata-kata lugas, penyair menyingkap realitas palsu yang disembunyikan dalam
kesakralan religiositas. Penyair mempertanyakan peran akhlak, yang membawanya
pada hasrat untuk membinasakan manusia dengan kekerasan bom atas nama cinta
pada Sang Pencipta. Telah tercipta kritik penyair pada manusia yang mestinya mengekspresikan
cinta pada sesama dan Sang Pencipta, tetapi justru melakukan tindakan radikal. Karena
itu, diperlukan kata-kata lugas untuk mencapai katarsis mengenai perilaku anarkhis
terhadap ketersesatan keyakinan cinta pada Sang Pencipta itu.
Membaca puisi Hilmi
Faiq, saya menemukan berbagai diksi yang terkesan menghadirkan guncangan spiritual.
Penyair menghadirkan puisi sebagai sindiran, bahkan paradoks, menampilkan penyimpangan
religiositas. Puisi yang diciptakannya menyentuh kedalaman rasa, kesadaran keilahian,
dan membuka cakrawala cinta pada sesama yang didasari dengan toleransi beragama.
Dalam puisi “Beda Keyakinan”, saya sampai
pada suatu renungan bahwa empati penyair menyentuh perasaan cinta pada seorang kekasih.
Penyair menyingkap gelora api cinta platonis yang mengguncang jiwa seseorang, dikemas
dengan paradoks: Tuhan/ Pekan lalu hamba berjumpa dia/ Kami kenalan dengan
berjabat tangan/ Dia sungguh makhluk menawan// Tuhan/ Hamba yakin sedang jatuh
cinta/ Tapi dokter yakin hamba terkena corona//. Dalam kesederhanaan diksi,
penyair menulis peristiwa-peristiwa paradoksal mengenai kerinduan yang menjelma
perbedaan tafsir. Kita dibiarkan dalam ambiguitas tafsir, mana yang lebih
benar: sedang jatuh cinta, atau sakit corona?
Penyair menyembunyikan teka-teki mengenai perasaan cinta
pada sesama. Ia menghadirkan peristiwa-peristiwa keseharian dalam berbagai
tafsir makna. Dalam diksi yang lugas, ia mengalirkan guncangan jiwa di akhir
puisi. Dengan cara ini penyair melakukan solilokui, untuk mengantarkan
katarsis. Puisi “Kapokmu Kapan” dan “Perbedaan Keyakinan” tercantum dalam Perkara-Perkara
Nyaris Puitis (Penerbit Gramedia Pustala Utama, 2023). Kedua puisi itu memberi
warna tema yang berbeda dalam Tembang Puitik Volume 8. Ananda Sukarlan yang
mengemas kedua puisi itu mengekspresikannya dalam musik yang menyentuh indera
telinga. Ia mesti menghadirkan nuansa resiliensi cinta itu dalam nuansa musik
yang puitis.
***
YANG menjadi
pertanyaan kita kini: mengapa puisi Hilmi Faiq memberikan inspirasi pada Ananda
Sukarlan untuk mencipta musik? Saya menyingkap tiga hal sebagai latar belakang
terpilihnya puisi Hilmi Faiq. Pertama, makna puisinya menyentuh perilaku rawan mengenai
cinta yang bermakna (a) transenden, dan (b) kasih sayang pada kekasih. Dengan
bahasa yang komunikatif, Hilmi Faiq menyingkap empati cinta. Dalam puisinya,
cinta memiliki jangkauan melebihi batas-batas dunia fisik dan menciptakan
ikatan batin yang mendalam. Cinta menjadi fokus utama sebagaimana kaum sufi,
pencari kebenaran dan keindahan spiritual. Sebagaimana Jalaludin Rumi, penyair
menyampaikan pesan “setiap waktu yang berlalu tanpa cinta akan menjelma menjadi
wajah memilukan di hadapan Tuhan”.
Kedua, puisi Hilmi
Faiq dicipta sebagai katarsis untuk mengembalikan kesadaran pada pembaca akan
kegelapan pemahaman cinta secara transenden. Dalam puisi “Kapokmu Kapan”, penyair
bermain dalam ranah religiositas yang bersentuhan dengan radikalisme. Ia
mencipta kritik terhadap akhlak manusia. Ia memanfaatkan tema, suasana, dan
pesan moral yang menyentuh akhlak manusia beragama untuk terbebas dari
pandangan oposisi biner: benar-salah, kawan-lawan, surga-neraka. Ia berobsesi
pada kejernihan kalbu manusia untuk meluruskan sesat pikir kaum radikal.
Ketiga, dalam praktik sosial, puisi “Kapokmu
Kapan” menyusupkan kesadaran untuk mengekspresikan solidaritas, menjadi penawar
bagi “luka jiwa”. Puisi ini dicipta Hilmi Faiq untuk menawarkan dialektika antara
cara pandang cinta secara transenden dan kepentingan politik. Kesan saya, penyair
telah berproses dengan pencarian estetika dan makna pengorbanan jiwa yang
sia-sia. Penyair membuka horizon pemahaman mengenai penyimpangan religiositas.
Luka religiositas menjadi obsesi penciptaannya, diekspresikan melalui bahasa satire.
Ia memasuki dunia spiritual untuk menyingkap kesadaran manusia dengan ungkapan
rasa sayang dan kepedulian: kapokmu kapan. Tanpa bahasa simbol, ia
mencari keindahan yang melampaui kata-kata biasa dan memasuki ranah menuju
hakikat keberadaan manusia. Ia menyusupkan resiliensi cinta terhadap kerakusan manusia
akan keterbatasan, kekuasaan dan religiositas. Estetika serupa inilah yang menggetarkan
intuisi Ananda Sukarlan untuk mengubah puisi sebagai musik. ***