Agus Manaji
Langit Ebiet
Tidaklah naif rajutan anganmu, meski musykil menangkap jala api
di langit terluka. Aku tak melihat jala-jala itu.
Tapi cahaya kota-kota berpendaran lebih terik dari sorot matahari
di atmosfer, mengurung mimpi angkuh manusia, menggaris tanah
dan udara. Kusaksikan burung-burung melayangi peradaban asap
dan pohon-pohon terkapar letih memikul luka dan doa.
Jejak air pudar pada aspal leleh dan atap gedung tinggi,
meski kadang membandang tanpa kabar sebelumnya.
Mata air tersengal mengirim isyarat perjalanan
kepada sungai dan muara.
Sebuah lagu tak cukup untuk melunasi basah airmata.
Bumi menari melupakan pedih tumbukan dengan meteor
milyaran tahun lalu, melirik matahari di kebun tata surya.
Saban pagi kuputar lagumu, sembari memulangkan
cuwilan sayur dan cangkang telur ke pokok pohon pisang
di halaman rumah. Aku juga menanam cabai, tomat, dan jahe
dalam pot. Biarkan awan terbakar. Lubang langit itu
kosong, bukan jalan mudik. Kita telah menggunting daur air,
menarik jejak karbon dan fluor hingga jazirah es kutub.
Orang utan tertegun di depan lubang tambang,
berlarian di antara pepohonan sawit. Napasku
memakmumi angin menuruni jurang suhu,
bergetaran antara nafsu menderu dan rindu.
Bila matahari bangkit, suaramu gema antara sunyi
dan bayang-bayang tubuhku yang unduk jaga.
Matahari, titik api kesadaran bumi.
Maret 2022.
puisi ini terinspirasi dan sekaligus merespon Lagu Langit Terluka yang dinyanyikan oleh penciptanya sendiri yakni Ebiet G. Ade