Mencari Juru Masak Pastoran - Jeli Manalu

@kontributor 6/19/2022

Mencari Juru Masak Pastoran
Jeli Manalu






Sesuatu yang merah. Lebih merah dari keripik ubi bercabai. Menetes-netes dari kaki sebelah kiri. Perih. Berdenyut-denyut. Dan Bul, tidak pernah menyangka. Kebun ubi kayu yang telah memberikannya berpiring-piring saksang itu, menjebloskannya ke dalam lingkaran malapetaka. Tujuannya ke sana hanya mencari Teofilus. Tak dimengertinya betapa tali jerat tidak memiliki kemampuan dalam memilih calon korbannya. Meski sering menemani Teofilus memasangnya di kebun ubi kayu, Bul tetap tidak paham bila benda itu ternyata berbahaya juga untuknya. 

***

Teofilus ialah lelaki gondrong yang mahir membuat saksang. Ia  juru masak di pastoran, yang juga tempat tinggal Bul dan keluarganya. Sebelumnya, pencarian ke berbagai tempat sudah Bul lakukan. Setiap sudut dapur pastoran. Sekeliling kompor. Seputar meja makan, sampai pasar-pasar yang biasa Teofilus kunjungi saat membeli bahan masakan. Berkat penjelasan Delila, istri Bul sendiri, ia bergegas pergi ke kebun ubi kayu.

Setiba di sana hatinya terlonjak senang. Ia lihat batang dan daun ubi bergoyang, rebah satu-satu. Teofilus sepertinya sedang mencabut ubi, pikirnya. Selain mengolah langsung ubi segar menjadi kolak atau lepat manis, dibantu Pastor Simon, Teofilus biasa mengolahnya menjadi keripik pedas. Keripik pedas kemasan mini dengan nilai jual seribu rupiah dititipkan di warung-warung pinggir jalan dan kantin sekolah. Keripik pedas lima hingga sepuluh ribu diantar ke mini market. Sedangkan yang kiloan, biasanya dipesan para pedagang mi gomak sebagai pengganti kerupuk merah. Kebun ubi yang berjasa dalam menopang perekonomian dapur pastoran itu, juga menjadi berkat untuk sekawanan gondit (babi hutan). Gondit mendapat penghidupan layak di kebun ubi kayu—mereka bebas mengambil sebanyak apa pun dimau. 

Sebagai juru masak pastoran yang selalu butuh bahan untuk dimasak, Teofilus menyampaikan ide memasang perangkap kepada Pastor Simon. Diperlukan beberapa utas tali sebagai jerat. Pastor Simon setuju. Ia ikut memasangnya di titik-titik yang diperkirakan akan dilewati gondit. Sekian tahun berjalan, kebun ubi itu menghasilkan puluhan gondit. 

Gondit yang masuk perangkap biasanya Teofilus olah jadi saksang. Bul dan keluarganya gemar makan saksang. Pastor Simon juga suka walau soal memasaknya ia tidak pernah ikut. Bila sedang dapat berukuran besar, Pastor Simon mengundang umat terdekat untuk makan saksang bersama di meja makan pastoran. Anjing-anjing para umat itu pun ikut menikmati saksang, meski jatah mereka hanya remah daging berlemak atau tulang dari piring bekas makan yang akan dibawa tuannya sewaktu pulang.  

Dan benar sajalah, pada siang terik di antara pohon-pohon ubi kayu rimbun, bukan Teofilus yang didapati Bul. Melainkan gondit beraneka rupa tubuh. Ada gondit berperut besar. Ada hanya berukuran pendek namun bokong lumayan semok. Ada juga bermoncong agak panjang. Beberapa lainnya masih kecil. Letupan dada Bul seumpa saksang dalam kuali pematangan ketika hewan hutan itu tampak rakus membongkar umbi ubi. Bul marah. Bul menyalak dan melompat. Seekor anak gondit dengan berat sekitar sepuluh kilo berhasil Bul gigit tengkuknya. Bul segera terbayang bagaimana ekspresi Teofilus setiap kali mereka mendapatkan gondit. Setiba di pastoran, lelaki itu biasanya langsung menyembelih gondit tanpa membuang darahnya. Mencincang dengan parang tajam. Mengolahnya menjadi saksang lezat. Sebagai wujud rasa syukur, Teofilus selalu memberi jatah satu piring besar untuk Bul serta keluarganya lebih dahulu sebelum tiba jam makan Pastor Simon.

 Di tengah kebun ubi dalam posisi menggigit tengkuk anak gondit sedangkan gondit lainnya telah kabur, Bul berpusar-pusar di satu titik. Taringnya menembus kulit mangsa. Ia kangkangi anak gondit tidak peduli pada tali jerat melingkar-lingkar di kaki kirinya. Anak gondit meronta-ronta. Bul mulai  risih dengan kakinya. Saat anak gondit lepas dari mulut Bul kemudian ia berusaha mengejar namun kakinya yang terikat menahan semua gerakannya, di situlah Bul sadar betapa dirinya sudah berada di mulut maut dan bukannya bertemu dengan Teofilus.

Sebelum berangkat ke kebun ubi kayu, Bul mengobrol dengan Delila, “Kau yakin Teofilus ada di sana?” 

“Tidak tahu pasti. Aku hanya menebak.” 

“Kau tahu kan, Del di pastoran ini hanya Teofilus yang pintar memasak untuk kita. Pastor Simon sudah kau lihat sendiri. Ia memang memasak. Tapi bukan saksang yang dimasaknya.

Sejak Teofilus pergi, tubuh Delila semakin kurus. Payudaranya kempes. Sementara istrinya itu harus menyusui tiga bayi jantan dan satu betina. Dan bayi-bayi tersebut semakin rakus mengisap puting susu Delila saat tidak mendapatkan makan tambahan. Bila harus pergi ke kedai tuak yang selalu menyediakan tambul, Bul tidak mau lagi. Ia sudah tiga kali dicaci maki anjing pemilik kedai tuak karena mengambil tulang dari dalam piring belum dicuci. Pernah diambilnya dua tulang rusuk. Sekali waktu tulang lutut pendek-pendek. Hari lain disikatnya satu paha bertumpuk lemak di sana-sini.  

“Dasar anjing tak tahu malu!” teriak anjing pemilik kedai tuak.

Bul lepaskan paha dari mulutnya. Lalu minta maaf. Anjing pemilik kedai tuak tetap nyinyir. Ia hina Bul dengan tuduhan mencuri. Bul ingat betul bagaimana saat itu harga dirinya sebagai anjing pastoran baik hati dan tidak terlalu miskin ternodai. Dan rasa sedihnya tentang anjuran supaya Bul lebih baik mencari Teofilus yang selalu dibangga-banggakan Bul di hadapan seluruh anjing belum bisa terobati. 

Di kebun ubi yang terik Bul menggeser-geser bokong ke arah yang teduh. Gerakan itu ternyata menambah sakit di kakinya. Ia meraung liris. Lolongannya sepanjang kebun ubi. Tapi semua ratapan tak kunjung sampai ke telinga Teofilus. Bul mendekatkan moncongnya, berusaha menggigit pilinan tali jerat. Benda yang sekilas mirip tali rentengan keripik singkong itu malah memperlebar luka di sepanjang kaki Bul. Dan ia merasa frustrasi hingga mencoba melambung-lambungkan tubuh seperti yang biasa ia pertontonkan manakala merasa bahagia saat mendapatkan saksang enak. Setelahnya sesuatu yang merah menetes lebih banyak lalu lumer ke tanah. Semakin besar keinginan Bul untuk lepas, semakin dalam pula luka pada kakinya, yang sesekali sudah ia rasakan kontak hingga lapisan luar tulangnya. 

Rasa lapar dan haus turut memperparah kondisinya. Sewaktu ada Teofilus tidak sekalipun dirinya terlambat makan. Minumnya juga selalu tercukupi. 

Pagi sebelum melakukan pencarian ke kebun ubi kayu, tidak ada yang bisa Bul makan kecuali nasi kuah kuning tanpa lauk—ia kurang bernafsu untuk itu. Makanan utama Bul justru lebih banyak lauk ketimbang nasi. Lauk berupa saksang membuat hati Bul terlonjak-lonjak, ia selalu tampil prima bila bersama Teofilus. Pastor Simon berbeda dengan Teofilus. Pastor Simon keahliannya melobi pemilik warung, kantin, mini market atau pedagang mi gomak supaya mau dititipkan keripik singkong. Pagi itu, Pastor Simon hanya masak keik atau sayur labu kuah kuning. Bul tidak makan keik maupun sayur labu. Teofilus telaten menciptakan makanan bagaimana supaya selalu dikenang oleh lidah penikmatnya. Jika sedang ada saksang, Bul pintar merengek terhadap Teofilus. Ketimbang Bul menggonggong tiada henti sehingga ditakutkan mengganggu jam doa Pastor Simon, Teofilus akan memberinya satu piring. Bul merasa, saksang buatan tangan Teofilus telah membentuk diri Bul menjadi anjing jantan sejati, yang selalu mampu menghamili Delila sehingga ketika tiba masa melahirkan akan diperoleh bayi-bayi menggemaskan—Bul telah membuktikannya pada kelahiran di tahun-tahun sebelumnya.

 Bul mengedarkan pandangan untuk ke sekian kali. Daun dan batang ubi kayu bergoyang panjang. Lebih panjang. Makin panjang. Kadang sampai merunduk. Tetap saja bukan Teofilus. Itu bukan Teofilus yang datang menolong, sebagaimana dulu ketika dirinya diajak berburu lalu kaki kirinya terlilit akar pohon hutan. 

Ke mana Teofilus yang selalu melindungi Bul dari kelaparan serta marabahaya? Di sekeliling kompor dan meja makan pastoran, pasar-pasar yang biasa Teofilus kunjungi saat membeli bahan masakan hingga kebun ubi kayu tak ada. Bul hanya tahu, bila Teofilus sudah cukup lama tak pernah terlihat lagi berdiri menghadap kuali sambil mengaduk-aduk saksang. Sejak Delila hamil muda lagi hingga melahirkan empat bayi yang sekarang sudah berumur satu bulan. Terakhir, Bul hanya melihat gondrong Teofilus dijambak ibu dari perempuan yang beberapa kali bercinta bersama Teofilus di kebun ubi kayu seperti yang dilakukan Bul kepada Delila. Waktu itu, di hari yang seharusnya manis karena sekuali saksang akan disantap bersama dengan sejumlah tamu Pastor Simon, Bul cuma menyalak keras sebab tak tahu cara membantu Teofilus ketika dipaksa masuk ke dalam mobil. 

***

 Langit berwarna keripik ubi bercabai. Sebelahnya warna saksang dalam piring oranye. Sebagian lagi seperti luka kemerahan di kaki kiri Bul. Hamparan ubi kayu tak lagi hijau. Dan bagi Bul, selain rasa sakit dan sepi, hanya malam yang pasti tiba sebentar lagi. Tidak ada Teofilus atau pun Pastor Simon. Tidak juga Delila serta anak-anak mereka. Tapi, ia keliru. Tidak jauh dari diri Bul dengan kondisi sakit fisik dan perasaan, tiba-tiba sekawanan gondit datang lagi mengambil jatah makan malam. 

Naluri anjing Bul meluap. Ia berlari tapi apa daya kaki terpenjara. Pada perjamuan makan semarak puluhan gondit ia cuma penonton. Tak berselang lama, ketika cahaya kemerahan belum sepenuhnya hilang dari batang-batang ubi kayu, Bul tak percaya pada seekor gondit berbokong semok menangis-nangis. Kaki gondit itu masuk perangkap lain yang pernah dipasang Teofilus bersamanya. 

Bul meronta. Bul ingin menyaksikan bokong semok si gondit lebih dekat. Saat bersamaan liur Bul melimpah ruah menggenangi lidahnya. Teofilus datang! Teofilus sudah datang, katanya. Dalam pikiran kalut Bul, lelaki gondrong itu mengaduk-aduk saksang bersama si perempuan. **

Riau, Februari 2022 


Catatan: 

Saksang = Masakan yang diolah dari daging. Diberi bumbu, kemudian dicampur darah.

Mi gomak = Mi yang terbuat dari mi lidi. Biasanya berkuah. Kadang diberi kerupuk atau keripik supaya makin enak.


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »