Pintu Masuk - Hendy Pratama

@kontributor 6/19/2022

Pintu Masuk

Hendy Pratama





PUISI kerap kali jadi pintu masuk bagi ‘orang-orang baru’ dari rumah besar kesusastraan. Tidak sedikit dari mereka yang melirik sastra, dimulai dari membaca—dan, kemudian mencoba menulis—puisi. Mereka menyukainya, mereka bersulang bir untuk merayakannya.

Orang-orang baru itu menganggap, bahwa pekerjaan menulis puisi segampang mengetik status wasap, lalu menyebarluaskannya ke media sosial, dan darinya, mereka berharap mendapatkan atensi dan apresiasi.

Tak ada yang salah dari semua itu. Biarlah kesan baik timbul sejak pandangan pertama. Hal-hal yang jelimet baiknya memang dikesampingkan terlebih dulu. Lambat laun, mereka bakal mengerti, bahwa di tubuh puisi terdapat banyak sekali organ yang mesti mereka pelajari habis-habisan. Organ-organ itu semacam tata bahasa, kekayaan kosakata, kejelian memilih kata (diksi), logika kalimat yang benar dan beres, persoalan tanda baca, keindahan bunyi, enjambemen yang tepat, serta alur/ plot puisi yang terasa mengalir.

Elemen-elemen yang saya sebutkan di atas hanyalah perkara mendasar dalam kebahasaan kita. Mereka belum menyentuh perkara-perkara yang lebih sulit dan rumit, seperti halnya persoalan gaya ucap, kekuatan puitik (daya ungkap), muatan yang mereka bawa dalam puisi, pendalaman dan pengilhaman terhadap fenomena hidup, kebaharuan interprestasi, dan lain sebagainya, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, secara sederhana, menulis puisi serupa membaca hidup, lalu mencoba menafsirkannya—sebelum pada akhirnya dicitrakan dalam kalimat-kalimat puitik yang mampu menggetarkan bulu kuduk pembaca.

Saya sendiri agaknya berbeda dengan mayoritas orang itu. Pintu masuk saya pada dunia sastra justru dibuka dari gerbang cerita pendek. Saya menyukai cerita; saya suka mendengar cerita dari alm. kakek soal pengalamannya menjadi prajurit polisi yang bertugas jauh dari tempat tinggal; saya suka menonton kisah seekor lebah bernama Hachi yang bertualang mencari ibunya. Melalui cerita, sastra terdengar lebih mengasyikkan, mengharukan, menegangkan, mendebarkan, juga misterius (berbeda dengan belantara puisi yang kadang kala sukar dipahami).

Cerita menyuguhkan apa-apa yang dapat saya santap, nikmati, serta renungi, kapan pun, dan di mana pun—sewaktu suntuk menunggu kehadiran salah seorang kawan, misalnya. Suatu waktu, tiga hari sebelum hari H, saya bersepakat dengan Kenken buat mendaki bukit Cumbri, berfoto, merasakan semilir angin, melihat sejumlah vegetasi, serta memandang lanskap yang disajikan alam. Isi janjian kami adalah: bertemu di depan pom bensin, selatan bunderan Tambakbayan, jam 8 pagi. Dan kali ini, di jam—yang menjadi kesepakatan bersama—itu, Kenken belum kunjung tiba, sementara sorot matahari terasa kian menyengat kepala. Jemu menunggu, saya menyempatkan diri membaca satu-dua cerita pendek yang Minggu ini dimuat Kompas dan Jawa Pos, sembari berteduh di bawah pohon cemara. Tak lama berselang, batang hidung kawan saya tampak dari balik bokong truk yang melaju lamban.

Cerpen kedua memang belum sepenuhnya rampung saya baca. Hanya saja, kehadirannya mampu meredam rasa jemu, bosan, suntuk, atau apa pun itu. Rasa-rasanya, cerita pendek telah menyelamatkan Kenken dari amuk kekesalan saya.

Dari situ, setidaknya, timbul kesan positif yang saya dapatkan ketika mencoba masuk dalam rumah besar kesusastraan Indonesia. Cerita pendek telah memikat saya sejak awal, dan saya harap selamanya terus begitu. Barangkali tampak sepele. Namun, bila ditelisik lebih jauh, pintu-pintu yang terpampang di area depan cukup penting. Pintu-pintu itu tampak serupa sebuah etalase sebuah rumah makan Padang, di mana kita dapat leluasa melihat dan memilih segala jenis menu yang ditampilkan. Saya pernah bepergian ke suatu tempat dan tanpa sengaja melewati etalase itu. Baik rendang, ayam pop, udang balado, atau menu lainnya, kiranya berhasil membikin saya tergiur sejak awal, sejak kali pertama memandangnya dalam sebuah etalase.

Sastra, ada baiknya ditampilkan dari segi positifnya—apalagi bagi mereka, ‘orang-orang baru’. Abaikan saja pelbagai macam persoalan pelik yang rasa-rasanya tak pernah ada habisnya, seperti politik sastra, konflik pribadi antar-penulis, kasus plagiasi yang menjadi penyakit menahun, perdebatan panjang antara puisi esai atau esai yang puitik, nasib asmara penulis yang kerap kali berakhir tragis, kondisi finansial penulis yang mengkhawatirkan, dan segala macam kurap-kurapnya. Baik-buruknya sastra, biarlah timbul-tenggelam seiring berjalannya waktu.

Saya menaruh kekhawatiran yang mendalam apabila sastra dicap sebagai sesuatu yang absurd, aneh, sulit diterka, membingungkan, memusingkan, tidak to the point, dan stigma-stigma negatif lainnya. “Sastra adalah milik kaum bangsawan” hanyalah ungkapan kuno. Hal itu justru memperlebar jarak antara sastra dengan masyarakat. Slogan revolusioner “memasyarakatkan sastra” hanya akan menjadi spanduk kumuh yang memenuhi bahu jalan, terikat kuyu di sebatang bambu, di samping poster-poster calon presiden atau poster-poster hegemoni tiga periode. Maka dari itu, upaya-upaya persuasif mesti dilakukan sepenuh hati dengan sejenak menurunkan ego-eksistensial.

Sebab, sebagaimana yang kita tahu, segalanya memerlukan pintu. Manusia, sebelum lahir ke dunia, lebih dulu membuka pintu masuk berupa rahim ibu. Kematian, yang terdengar mengerikan itu, sejatinya ialah pintu masuk ke alam kubur. Surga, dengan segala keindahan yang digambarkan oleh kitab suci, perlu menunggu datangnya pintu berupa Hari Kiamat guna memasukinya. Sastra pun demikian. Jika kita menginginkan masa depan yang cerah bagi sastra Indonesia, sebaiknya, jauh-jauh hari kita mesti memoles pintu masuknya, supaya ‘orang-orang baru’ itu terpikat, supaya regenerasi dari tahun ke tahun senantiasa terjaga, dan supaya sastra tidak mati tertindas rezim atau tertelan zaman. ***


Mucoffee, 28 Maret 2022


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »