Di Balik Hernia Sujali - Hilmi Faiq

@kontributor 12/04/2022

Di Balik Hernia Sujali

Hilmi Faiq



Empat burung gereja bercericit di atas kabel di depan rumah Pak RT saat Sujali menyapu dedaunan kamboja dan rambutan. Burung-burung itu sontak terbang dan berpindah ke pohon cemara begitu mendengar bunyi kasar sapu lidi Sujali menggaruk halaman berlapis batu paving. Sujali tak memedulikan itu.

            Tanpa dia tahu, bunyi sapunya membangkitkan Bu RT yang sedari tadi membaca novel detektif di sofa ruang tamu. Buru-buru Bu RT meletakkan buku yang setengahnya sudah dia baca itu, lalu bangkit membuka pintu. Dia mendapati Sujali menunduk asyik menyapu dedaunan.

            “Lho, katanya operasi hernia, kok sudah masuk kerja?” sapa Bu RT dengan tatapan heran.

            “Ga jadi, Bu. Ditunda seminggu lagi, tanggal tiga puluh nanti,” jawab Sujali yang berhenti menyapu lalu menyapu lagi.

            “Kenapa ditunda?”

            “Kata dokter, menunggu tekanan darah normal.”

            “Tekanan darah Pak Sujali bukannya kemarin baik-baik saja?”

            “Iya, Bu. Tapi menjelang operasi tekanannya naik. Jadi dokter menyarankan ditunda.”

            “Pak Sujali mikir apa sampai tekanan darah naik? Takut operasi atau ada masalah lain?”

            “Biasa, Bu. Masalah rumah tangga.”

            “Wah, saya ga mau ikut-ikut kalau soal itu.”

            “Gapapa, Bu.”

            “Plester yang di lengan Pak Sujali itu bekas apa?”

            “Oh, ini. Ini kemarin bekas tes darah. Darahnya diambil sebagian. Katanya untuk diperiksa.”

            “Hasilnya?”

            “Belum tahu, Bu. Mestinya bisa diambil hari ini hasilnya.”

            “Terus kenapa ga diambil?”

            “Belum ada biaya, Bu. Bayarnya seratus ribu.”

            “Bukannya bisa gratis kalau pakai BPJS?”

            “Nah, itu masalahnya, Bu. BPJS saya menunggak enam bulan he he he.” Sujali nyengir.

            “Kok, bisa?”

            “Iya, Bu. Ternyata istri saya tidak membayarkan uang iuran untuk BPJS.”

            “Kok nyalahin istri?Bu RT makin ketus menginterogasi Sujali. Sebenarnya Bu RT penasaran dengan istri Sujali karena kabarnya tiga bulan lalu dia cerai. Tapi dia malas bertanya lebih jauh soal itu. Lagi pula bukan urusan dia Sujali cerai atau nikah lagi.

            Maksud saya, dia sudah saya kasih uang tapi belum dibayarkan.”

            “Ya Pak Sujali urus sendiri ya, saya ga mau ikut-ikut urusan dengan istri.”

Bu RT menyudahi pembicaraan itu setelah basa-basi menanyakan hal lain: tentang cairan penghilang rumput sampai solar untuk mesin pemotong rumput. Di tengah obrolan yang tidak begitu penting itu sebenarnya pikiran Bu RT tertusuk satu pertanyaan: kenapa tumben sekali Sujali, si tukang kebun kompleks ini, menyapu sampai halaman depan rumahnya. Biasanya hanya di sekitar taman fasilitas umum.

Sementara itu, Sujali agak kecewa lantaran pancingannya untuk memperoleh iba dari Bu RT tidak terwujud. Sia-sia nyapu sampai halaman Bu RT.

***

Hari sudah sore, Sujali sudah pulang dari kompleks. Bu RT menelisik perihal penundaan operasi hernia Sujali dengan bertanya lewat WA kepada warga yang tinggal di dekat pos jaga. Bu RT hendak memastikan sore ini Sandi yang jaga. Sandi sudah empat  tahun menjadi satpam kompleks, satpam paling lama. Tiga satpam lainnya baru dua setengah sampai tiga tahun bertugas di kompleks ini. Belakangan Bu RT dapat kabar bahwa Sandi yang mencarikan istri muda buat Sujali. Beberapa warga percaya Sandi punya ilmu pengasihan, pemikat hati perempuan.

Sandi, nama aslinya San Diego. Itu pun sebenarnya tidak asli-asli amat. Ayahnya penggemar berat Diego Maradona Si Tangan Tuhan. Dia ingin anaknya mahir main sepakbola, maka dia memberinya nama Diego Maradona.  Ketiga diajukan ke pencacatan sipil untuk membuat akta kelahiran, tampaknya kuping, pikiran, dan tangan petugas tidak sikron. Yang tertulis justru San Diego, nama kota di California selatan atau nama kompleks kuburan. Teman-teman dan tetangga yang biasa ngomong cilok, tahu, peyek, sepeda atau nangka, kesulitan melafalkan Diego. Mereka lalu berinisiatif menyingkat nama San Diego menjadi Sandi.

Sandi akrab dengan Sujali, ini alasan Bu RT memastikan dia yang berjaga. Bu RT ingin mendapatkan informasi yang lebih berimbang tentang tertundanya operasi hernia Sujali. Bukan apa-apa. Bu RT akan menanggung beban berat jika operasi hernia itu benar-benar batal karena dia sudah kadung membuka donasi dan terkumpul sekian juta rupiah.

“Eh, Bu RT. Tumben. Ada yang bisa dibantu, Bu?” sapa Sandi begitu melihat Bu RT menghentikan langkah di depan pos jaga.

“Kamu sibuk ga?”

“Biasa saja Bu RT. Jaga.”

“O, gapapa kalau begitu. Sebantar saja kok.”

“Sepertinya penting. Ada apa ya Bu RT?”

“Kamu kapan terakhir ngobrol sama Sujali,”

“Belum lama, tadi pagi juga ngobrol.”

“Dia ada cerita enggak kenapa ga jadi operasi turun berok?”

“Turun berok? Apa itu Bu RT?”

“Hernia.”

“Oh, itu. Kurang begitu paham Bu RT. Kok, Bu RT nanyanya ke saya, ya?”

“Kamu, kan, teman akrabnya.”

“Enggak juga, Bu.”

“Halah. Siapa coba yang nyarikan istri muda buat Sujali. Siapa yang mengenalkan Suminah ke Sujali?”

“Saya, sih.”

“Nah, itu. Tidak usah takut. Coba dia cerita apa tentang operasi hernianya?” 

“Jadi kemarin dia sudah ke rumah sakit. Sudah mau operasi terus batal.”

“Batal kenapa?”

“Katanya istri tua dan istri mudanya berentem di rumah sakit.”

“Kok bisa?”

“Mereka berebut untuk merawat Sujali selama pemulihan.”

“Bukannya Sujali sudah cerai sama istri tuanya?”

“Itu istri pertama dan kedua yang sudah dia ceraikan. Ini istri ketiga dan keempat.”

“Banyak benar istrinya?”

“Itulah hebatnya dia. Gampang cari istri.”

“Hebat apanya kalau ujung-ujung beramtem dan cerai.”

“Iya juga, ya Bu RT.”

“Yang istri ketiga ini bukannya pernah minta cerai? Kirain udah cerai.”

“Belum, Bu RT. Memang pernah dia minta cerai, tapi Sujali menolak.”

“Oh.”

“Nah, karena ribut di rumah sakit, Sujali malu dan pusing tidak bisa melerai. Tekanan darahnya naik. Dokter menyarankan operasi ditunda sampai dia bisa mendamaikan kedua istrinya.”

 ***

Dari dua sumber informasi itu itu, Bu RT masih belum menemukan gambaran tentang hal yang sebenarnya terjadi dengan Sujali. Benarkah istrinya berantem? Benarkah istri tuanya belum dicerai? Ah, benarkah Sujali mengidap penyakit hernia? Jangan-jangan sandiwara semata.

Sejauh itu pikiran Bu RT. Tampaknya dia lebih cocok menjadi wartawan. Skeptis sekali dia. Sudah banyak wartawan sekarang yang kehilangan sikap skeptis ini. Kasus penembakan, pemerkosaan, korupsi, disajikan tanpa sikap skeptis yang memadai. Mereka justru sangat skeptis terhadap kasus yang tak semestinya diumbar, kasus selangkangan Gisel atau rumah tanggal Atta-Aurel, misalnya. Semoga Bu RT kelak mau jadi wartawan setelah kasus hernia Sujali terungkap. Mari kita ikuti kelanjutannya.

Ini sudah selang sepuluh hari sejak Sujali menyapu di halaman rumah Bu RT. Pagi tadi Sujali telepon katanya sudah jadi operasi hernia tiga hari lalu dan sekarang sedang pemulihan di rumah istri tuanya. Pantas saja beberapa hari terakhir Sujali tak tampak berkelliaran di Kompleks seperti biasanya, begitu Bu RT membatin.

Bu RT paham bahwa Sujali memberi kabar itu bukan sekadar untuk izin tak bisa kerja beberapa hari ini dan beberapa hari ke depan. Ibarat sekali dayung dua pulau terlampui, secara tak terucap lewat telepon itu Sujali menagih, “Mana nih donasi buat saya?”

Sujali tahu itu lantaran setiap kali satpam, tukang sampah, atau pembantu rumah tangga sakit, warga kompleks rajin mengumpulkan sumbangan seadanya bagi mereka. Sumbangan yang seadanya bagi warga kompleks itu nilainya sangat besar bagi Sujali. Bisa setara dengan upah bekerja selama tiga setengah bulan.

Itu pula yang memicu pikiran Bu RT menebak-nebak. Jangan-jangan Sujali hanya pura-pura sakit biar dapat duit. Bagi Bu RT, ini bukan pikiran kotor. Ini bentuk dari sikap skeptis tadi. Sikap ingin tahu yang sebenarnya terjadi. Dia tak mau terlanjur menyalurkan dana sumbangan ternyata Sujali tak ada masalah dengan hernianya. Bisa celaka dia. Malu. Kepercayaan yang dia bangun bertahun-tahun bisa runtuh gara-gara hernia. Dia bisa-bisa turun jabatan gara-gara kasus turun berok. Pertaruhannya terlalu besar.

  Itulah alasan dia meminta salah satu warga,  Riska, menginterogasi Suminah. Kebetulan Suminah bekerja sebagai pembantu rumah tangga di tempat Riska.

“Apa sudah ada kabar yang lebih jelas tentang Sujali?”

“Makin simpang siur, Bu RT.”

“Bagaimana maksudnya?”

“Kata Suminah, Sujali tidak ke rumah sakit. Pas kemarin tidak masuk, mereka sedang jalan-jalan ke Anyer rombongan keluarga.”

“Lho, ga takut Korona?”

“Enggak tahu, Bu RT.”

“Berarti ada yang bohong. Menurutmu siapa yang berbohong nih?”

“Belum jelas juga, Bu RT. Yang jelas antara Sujali, Sandi, dan Suminah, enggak cocok ceritanya.”

“Itu, dia. Kita perlu cek langsung ke Sujali. Melihat jahitan operasinya kalau memang dia sudah operasi.”

“Nah, itu lebih baik Bu RT. Biar jelas semua.”

***

Setelah menelepon Sujali, Bu RT mendatangi Pak RT yang sedang sibuk webinar tentang manajemen krisis. Di layar laptopnya terpampang wajah cerah seorang perempuan yang tengah menjelaskan sesuatu. Bu RT tak tahu persis isinya karena Pak RT menyumbat telinganya dengan alat bantu dengar alias earphone.

“Pak, bisa ganggu sebentar?” kata Bu RT sambil menowel pundak Pak RT.

“Ada apa?” Pak RT buru-buru mencabut alat bantu dengar dan menoleh ke arah istrinya.

“Kalau sedang lowong, minta tolong temami kami, ibu-ibu, untuk menjenguk Sujali.”

“Musim Korona begini, ga bagus jenguk orang sakit ramai-ramai.”

“Ini bukan sekadar jenguk. Kami mau kasih sumbangan dana sekalian memastikan Sujali benar-benar operasi atau tidak.”

“Ya sudah, cukup datang sendiri atau berdua sama Ibu Bendahara RT. Kenapa harus sama Bapak?”

“Masalahnya, kan perlu mengecek bekas operasinya.”

“Ya tinggal cek saja, kan, beres.”

“Bekas aoperasinya di selangkangan. Masa ibu-ibu disuruh lihat selangkangan Sujali?”

“Lha. Masa Bapak yang harus melihat selangkangan Sujali? Selangkangan tukang kebun lagi. Ogah, ah”

“Ah, Bapak ga asyik, nih. Ga kompak.”

“Bu, tidak perlu lihat selangkangan Sujali untuk mastikan dia operasi atau tidak. Minta saja bukti tagihan dari rumah sakit.”

“Iya, ya. Muach.”

“Aduh, duh. Lagi dong.”

“Huh….”

           

***     

             Hujan baru saja reda, masih menyisakan mendung dan rintik tipis. Warga kompleks memilih menyepi di rumah. Saat itu Sujali masuk gerbang kompleks, memarkir sepeda motor di samping pos jaga, lalu beranjak mengambil sepatu bot dan mesin pemotong rumput. Sandi segera beranjak dari tempat duduknya begitu melihat Sujali. Buru-buru dia menyeretnya ke dalam pos jaga.

            “Cuy, mana bagian gue?”

            “Bagian apaan?”

            “Duitlah.”

            “Duit apaan?”

            “Duit sumbangan wargalah.”

            “Boro-boro dikasih duit, dijenguk aja enggak.”

            Sandi bengong, sebengong penonton Inggris saat Maradona menjebol gawang dengan bantuan tangan kirinya.

Sementara itu, Sujali menerobos keluar pos jaga dan menenteng mesin pemotong rumputnya untuk memangkas di taman dekat rumah Bu RT. Bu RT tidak begitu mendengar raungan mesin pemotong rumput itu lantaran dia tenggelam dalam novel detektif sembari meyumbat kupingnya dengan alat bantu dengar, pinjam dari suaminya yang mulai bosan ikut webinar.

Ciputat, 5 Januari 2021-7 Maret 2022

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »