Membaca Proust: Sebuah Pengantar - Retna Ariastuti

@kontributor 3/03/2024

Membaca Proust: Sebuah Pengantar

Retna Ariastuti

 


Novel yang ditulis oleh Marcel Proust, seorang penulis Perancis, berjudul A La Recherche du Temps Perdu sering disebut sebagai novel terbaik di abad keduapuluh. Novel yang pernah masuk dalam Guiness World Records sebagai novel terpanjang, yang dalam bahasa aslinya terdiri dari 1,2 juta kata dalam 3000 halaman dan 7 jilid, terbit di Perancis pertama kali, jilid satu, tahun 1913. Dan jilid terakhir terbit pada tahun 1927 ketika Proust sudah meninggal dunia tahun 1922.

Novel ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pertama kali oleh Scott Moncrieff dengan judul yang diambil dari kutipan Shakespeare, Sonnet 30, Remembrance of Things Past, sekitar akhir tahun 20an. Dia sendiri tidak sempat menyelesaikan ketujuh jilid novel tersebut, dan sepeninggalnya penerjemahan dilanjutkan oleh Terence Kilmartin. Setelah itu, banyak usaha penerjemahan dilakukan oleh penerjemah lain, masing-masing mengatakan terjemahan yang baru lebih baik dari terjemahan sebelumnya karena paling mendekati gaya bahasa yang digunakan dan makna yang dimaksudkan oleh Proust. Ciri khas tulisan Proust adalah dia senang menggunakan kalimat-kalimat panjang yang sarat dengan anak-anak kalimat yang berlapis-lapis. Seiring dengan perjalanan waktu, judul bahasa Inggrisnya berganti menjadi In Search of Lost Time, mengikuti terjemahan harfiah dari bahasa Perancis.

Terjemahan A La Recherche du Temps Perdu dalam bahasa Inggris yang terbaru dan lengkap diterbitkan oleh Penguin Books, dan setiap jilidnya diterjemahkan oleh penerjemah berbeda. Jilid pertama Swann’s Way terbit tahun 2002 dan jilid terakhir Finding Time Again terbit tahun 2023. Terbitan Penguin Books inilah yang saya gunakan dalam tulisan Membaca Proust ini. Dan dalam pembahasannya, saya akan mengutip beberapa bagian dalam bahasa Inggris yang kemudian saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Berikut adalah judul asli dalam bahasa Perancis dan judul dalam terjemahan bahasa Inggris.

Bahasa Perancis

Bahasa Inggris

 

Du cote du chez Swann, 1

Du cote du chez Swann, 2

Swann’s Way

A l’ombre des jeunes filles en fleur, 1

A l’ombre des jeunes filles en fleur, 2

A l’ombre des jeunes filles en fleur, 3

In The Shadow of Young Girls in Flower

Le Cote de Guermantes, 1

Le Cote de Guermantes, 2

Le Cote de Guermantes, 3

The Guermantes Way

Sodome et Gomorrhe, 1

Sodome et Gomorrhe, 2

Sodom and Gomorrah

La Prisonniere, 1

La Prisonniere, 2

The Prisoner

Albertine disparue

The Fugitive

Le Temps retrouve, 1

Le Temps retrouve, 2

Finding Time Again

Proust menulis In Search of Lost Time, selanjutnya disingkat ISOLT, untuk menjelaskan pemikirannya tentang Waktu dan Ingatan. Dan hasilnya, ISOLT bukanlah novel biasa yang memiliki alur cerita dan penokohan seperti pada umumnya sebuah novel, melainkan ISOLT adalah novel filosofis dimana yang menjadi utama adalah tema pemikiran, dan penokohannya dibuat sesuai dengan kebutuhan untuk menjelaskan pemikiran yang ingin disampaikan.

Tokoh utama dalam ISOLT adalah si Pencerita orang pertama yang menceritakan semua peristiwa dalam novel dari sudut pandangnya. Saat penceritaan tidak disebutkan dengan jelas, kecuali dari beberapa petunjuk dalam tuturan bisa diperkirakan umur si Pencerita saat itu adalah sekitar dewasa muda. Si Pencerita menjelaskan konsep pemikirannya tentang Waktu dan Ingatan dengan mengambil dan menceritakan pengalamannya sejak masa kecil dan dewasa, dan juga cerita mengenai tokoh tertentu yang didengarnya dari orang lain. Tetapi bukan berarti novel ini adalah sesederhana cerita kilas balik, karena pengalaman-pengalaman yang dipilih untuk diceritakan sejak pada buku jilid 1 akan membentuk sebuah premis dan hipotesa dimana kesimpulannya baru ditarik pada bagian akhir buku jilid 7.

Membaca Proust - Pengantar membahas buku pertama dari In Search of Lost Time berjudul Swann’s Way yang diterjemahkan oleh Lydia Davis, dan terdiri dari tiga bagian:

·         Part I: Combray 1 dan Combray 2

·         Part II: Swann in Love

·         Part III: Place-Names: The Name

Tetapi sebagai pengantar, bahasan ini hanya akan mengupas Combray 1, karena bagian pertama ini menjabarkan dasar-dasar pemikiran yang selanjutnya digunakan dalam pengembangan cerita keseluruhan pada bagian dan jilid berikutnya.

ISOLT dimulai pada Combray 1 dengan kalimat pembuka oleh si Pencerita, kalimat pembuka yang selalu dikutip kalau membicarakan tentang Proust dan ISOLT,

Longtemps, je me suis couche de bonne heure.

For a long time, I went to bed early.

Sejak lama, aku selalu pergi tidur cepat.

Kalimat pembuka dilanjutkan dengan kalimat berikutnya yang menceritakan secara rinci urutan peristiwa dimana si Pencerita mulai jatuh tertidur tapi tiba-tiba terjaga, dan ketika itu pikirannya mengembara kemana-mana.

Sometimes, my candle scarcely out, my eyes would close so quickly that I did not have time to say to myself: “I’m falling asleep.” And, half an hour later, the thought that it was time to try to sleep would wake me; I wanted to put down the book I thought I still had in my hands and blow out my light; I had not ceased while sleeping to form reflections on what I had just read, but these reflections had taken a rather peculiar turn; it seemed to me that I myself was what the book was talking about: a church, a quartet, the rivalry between Francois I and Charles V. This belief lived on for a few seconds after my waking; it did not shock my reason but lay heavy like scales on my eyes and kept them from realizing that the candlestick was no longer lit. Then it began to grow unintelligible to me, as after metempsychosis do the thoughts for an earlier existence; the subject of the book detached itself from me, I was free to apply myself to it or not; immediately I recovered my sight and I was amazed to find the darkness around me soft and restful for my eyes, but perhaps even more so for my mind, to which it appeared a thing without cause, incomprehensible, a thing truly dark.

Kadang, lilinku pun belum padam, ketika mataku telah tertutup tanpa aku sempat berkata: “Aku mulai tertidur,” Tapi, setengah jam kemudian, aku terbangun oleh pikiranku sendiri bahwa sekarang saatnya untuk tidur. Dan terpikir untuk meletakkan buku yang aku kira masih dipegang and kemudian mematikan lilin; meskipun tertidur, isi buku yang barusan aku baca masih berada dalam pikiranku, walaupun telah berubah menjadi bentuk yang lain, yang agak aneh; rasanya akulah yang diceritakan buku tersebut: gereja, kwartet, perselisihan antara Francois I dan Charles V. Perasaan ini berlangsung selama beberapa detik setelah aku terjaga; aku tidak terganggu olehnya tapi ia terasa sebagai beban berat yang menghalangi mataku untuk menyadari bahwa lilin di kamar sudah padam. Kemudian ia berubah menjadi sesuatu yang tidak aku pahami, layaknya seperti setelah mengalami metempsychosis, pikiran kita seperti mengingat sesuatu dari perwujudan sebelumnya; apa yang diceritakan di buku menjadi terlepas dariku, aku bebas apakah akan menggunakannya atau tidak; segera kemudian penglihatanku serasa pulih dan aku merasa takjub dengan kegelapan sekelilingku yang aku rasakan nyaman di mata, bahkan mungkin pada pikiranku, gelap yang sungguh gelap, yang tidak dimengerti tapi terasa menenangkan.

Demikianlah, sejak paragraf pertama, si Pencerita telah menggambarkan kira-kira apa yang akan dibicarakan selanjutnya, yaitu tentang kesadaran dan ingatan, terutama ingatan terpendam. Paragraf pertama ini menjelaskan dengan sederhana bagaimana ingatan-ingatan kita tetap bertahan meski kita tidak menyadarinya, dan juga kita tidak menyadari bahwa kita memiliki ingatan tersebut. Dan ingatan terpendam tersebut seringkali muncul hanya pada saat tidur karena sewaktu tidur otak dan ingatan akan bekerja di bawah sadar.

Proust, melalui si Pencerita, kemudian mengembangkan pemikiran selanjutnya mengenai ingatan dengan menggambarkan apa yang terjadi dengan ingatan kita pada saat tidur.

A sleeping man holds in a circle around him the sequence of the hours, the order of the years and the worlds. He consults them instinctively as he wakes and reads in a second the point on the earth he occupies, the time that has elapsed before his waking; but their ranks can be mixed up, broken. If toward morning, after a bout of insomnia, sleep overcomes him as he is reading, in a position quite different from the one in which he usually sleeps, his raised arm alone is enough to stop the sun and make it retreat, and, in the first minute of his waking, he will no longer know what time it is, he will think he has just gone to bed. If he dozes off in a position still more displaced and divergent, after dinner sitting in an armchair for instance, then the confusion among the disordered worlds will be complete, the magic armchair will send him traveling at top speed through time and space, and, at the moment of opening his eyelids, he will believe he went to bed several months earlier in another country. But it was enough if, in my own bed, my sleep was deep and allowed my mind to relax entirely; then it would let go of the map of the place where I had fallen asleep and, when I woke in the middle of the night, since I did not know where I was, I did not even understand in the first moment who I was; I had only, in its original simplicity, the sense of existence as it may quiver in the depths of animal;

Seseorang yang sedang tidur menyimpan semua urutan perjalanan waktu, urutan tahun and keadaan dunia di sekelilingnya. Dan ketika bangun dia secara naluriah akan merujuk ke situ dan segera mengingat kembali tempat tepat di muka bumi dia berada dan berapa lama dia telah tertidur; meski susunan dan urutannya tercampur dan salah. Jika seandainya, karena insomnia, seseorang baru bisa tidur menjelang pagi, setelah membaca, dan dalam posisi yang tidak biasanya, posisi tangannya yang terangkat bisa seolah mampu menghalangi matahari untuk berputar di jalurnya, dan, ketika terjaga, dia tidak sanggup mengingat jam berapa waktu itu, dan dia merasa seolah baru saja berangkat tidur. Jika seandainya dia tertidur dalam posisi yang lebih tidak biasa, tertidur di kursi sofa setelah makan malam misalnya, maka kebingungan setelah bangun akan menjadi lebih parah, karena kursi sofa tersebut seolah-olah telah membawanya berjalan menempuh ruang dan waktu dengan kecepatan tinggi, sehingga begitu membuka mata, dia merasa telah berangkat tidur di tempat yang berbeda dan pada beberapa bulan sebelumnya. Bagiku sendiri, tertidur lelap di tempat tidurku sendiri cukup membuatku melupakan tempat dimana aku tertidur dan, jika tengah malam aku terjaga, aku tidak akan mengenali dimana aku berada dan bahkan pada saat itu, aku tidak mengenali diriku sendiri; yang aku tahu hanyalah perasaan bahwa aku ada, tetapi dalam bentuk yang paling sederhana seperti rasa keberadaan yang terbersit dalam diri para hewan.

Dalam tuturan di atas, Proust menyatakan bahwa ingatan yang paling dasar adalah ingatan tentang keberadaan dan hidup di dunia. Ingatan dasar ini dimiliki oleh semua makhluk hidup, tetapi yang membedakan kita dengan hewan adalah ingatan manusia setingkat lebih tinggi karena selain sadar akan keberadaan diri, ingatan kita juga terdiri dari ingatan tentang ruang dan waktu.

…but then the memory—not yet of the place where I was, but of several of those where I had lived and where I might have been—would come to me like help from on high to pull me out of the void from which I could not have got out on my own; I crossed centuries of civilization in one second, and the image confusedly glimpsed of oil lamps, then of wing-collar shirts, gradually recomposed my self’s original features.Perhaps the immobility of the things around us is imposed on them by our certainty that they are themselves and not anything else, by the immobility of our mind confronting them.

…tetapi kemudian ingatan—bukan tentang tempat aku berada saat itu, tetapi tempat-tempat yang pernah aku tinggali dan kunjungi—akan kembali dan mengeluarkan aku dari kekosongan yang aku tidak bisa keluar sendiri; aku telah mengarungi ratusan tahun peradaban hanya dalam satu detik saja, dan bayangan kabur lampu minyak, kemudian baju-baju, secara bertahap membentuk aku kembali menjadi diriku. Barangkali semua benda yang tidak bergerak di sekitar kita menjadi tidak bergerak karena kita yang membuatnya demikian, karena ketidakbergerakan daya pikir kita dalam menghadapinya.

Dalam paragraf terakhir di atas Proust menjelaskan bahwa selain terpendam, ingatan-ingatan tersebut mungkin juga tetap dan tidak bergerak, dan ketetapannya itu mempengaruhi dan membentuk cara pandang terhadap segala sesuatu di sekitar kita. Di bagian lain di novel Proust juga menggunakan kata kebiasaan atau habit untuk ketetapan dan ketidakbergerakan ini.

Ingatan terpendam yang muncul ke permukaan pada saat terjaga dari tidur hanyalah ingatan dasar sehubungan keberadaan terutama keberadaan diri serta ruang dan waktu. Selanjutnya, menurut Proust, ada bagian ingatan terpendam lain yang hanya akan muncul ke permukaan jika dipicu oleh kejadian khusus yang kadang sepertinya tidak berhubungan sama sekali. Kejadian khusus tersebut digambarkan Proust dengan menggunakan pengalaman si Pencerita ketika suatu hari dia minum teh dengan celupan kue madeleine.

…when one day in winter, as I returned home, my mother, seeing that I was cold, suggested that, contrary to my habit, I have a little tea. I refused at first and then, I do not know why, changed my mind. She sent for one of those squat, plump cakes called petites madeleines that look as though they have been molded in the grooved valve of scallop shell. And soon, mechanically, oppressed by the gloomy day and the prospect of another day to follow, I carried to my lips a spoonful of the tea in which I had let soften a bit of madeleine. But at the very instant when the mouthful of tea mixed with the cake crumbs touched my palate, I quivered, attentive to the extraordinary thing that was happening inside me. A delicious pleasure had invaded me, isolated me, without my having any notion as to its cause. It had immediately rendered the vicissitudes of life unimportant to me, its disasters innocuous, its brevity illusory, acting in the same way that love acts, by filling me with a precious essence: or rather this essence was not merely inside me, it was me. I had ceased to feel mediocre, contingent, mortal. Where could it have come to me from—this powerful joy? I sensed that it was connected to the taste of the tea and the cake, but that it went infinitely far beyond it, could not be of the same nature. Where did it come from? What did it mean? How could I grasp it? I drink a second mouthful, in which I find nothing more than in the first, a third that gives me a little less than the second. It is time for me to stop, the virtue of the drink seem to be diminishing. Clearly, the truth I am seeking is not in the drink, but in me. The drink has awoken it in me, …

…suatu hari di musim dingin, Ibuku, ketika dilihatnya aku pulang kedinginan, menawariku teh, meski itu bukanlah kebiasaanku. Awalnya aku menolak, tetapi entah kenapa kemudian berubah pikiran. Beliau menyediakan kue kecil gendut yang biasa disebut petite madeleine, dicetak dalam cetakan berbentuk kulit kerang. Dipicu oleh cuaca mendung hari itu dan kemungkinan juga keesokan harinya, aku segera menyendok sesendok teh yang di dalamnya telah dicelupkan kue madeleine. Tapi begitu sesendok teh beserta remah madeleine aku cicipi, aku gemetar, perasaan luar biasa telah menghampiriku. Kenikmatan di lidah menguasaiku, seakan memencilkanku, meski apa sebabnya aku tidak tahu. Perasaan itu membuat kesengsaraan hidup menjadi tidak lagi penting, tidak lagi berguna, dan kefanaannya hanya ilusi belaka, seperti halnya ketika cinta menghampirimu, semua terasa menjadi indah: atau sebenarnya perasaan itu bukanlah berasal dari dalam diriku, tetapi ia adalah diriku sendiri. Aku tidak lagi merasa tidak berguna, sementara, dan fana. Dari mana perasaan sukacita yang kuat itu datang kepadaku? Aku pikir itu terkait cicipan teh dan kue, tapi sungguh lebih jauh dari itu dan tidak mungkin serupa. Dari mana ia? Apa maksudnya? Bisakah aku rengkuh? Aku minum sesendok kedua, tapi perasaannya tidak sama dengan yang pertama, dan sesendok ketiga lebih kurang dari yang kedua. Sebaiknya aku berhenti. Dampak meminum teh dan kue semakin berkurang dalam sesendok berikutnya. Jelas berarti, yang aku cari tidaklah berada dalam teh dan kue, tetapi ada dalam diriku. Teh dan kue telah membangkitkannya…

Begitu si Pencerita mencicipi remah madeleine yang tersisa di dalam teh, dia merasa telah dibawa ke dunia lain, dunia yang meski tidak terasa asing tapi entah dimana. Sampai kemudian,

And suddenly the memory appeared. That taste was the taste of the little piece of madeleine which on Sunday mornings at Combray (because that day I did not go out before it was time for Mass), when I went to say good morning to her in her bedroom, my aunt Leonie would give me after dipping it in her infusion of tea or lime blossom. The sight of the little madeleine had not reminded me of anything before I tasted it: perhaps because I had often seen them since, without eating them, on the shelves of the pastry shops, and their image had therefore left those days of Combray and attached itself to others more recent; perhaps because of these recollection abandoned so long outside my memory, nothing survived, everything had come apart; the forms and the form, too, of the little shell made of cake, so fatly sensual within its severe and pious pleating—had been destroyed, or, still half asleep, had lost the force of expansion that would have allowed them to rejoin my consciousness.

Dan tiba-tiba ingatan itu muncul. Rasa teh itu adalah rasa kue madeleine yang biasa aku cicipi setiap hari Minggu pagi di Combray (hari itu aku tidak kemana-mana sebelum pergi ke misa hari Minggu). Setiap kali aku datang untuk mengucapkan selamat pagi di ruang tidur Bibi Leonie, beliau selalu menyuguhkan madeleine yang telah dicelupkan ke dalam teh. Melihat kue madeleine saja tanpa mencicipinya tidaklah mengingatkanku pada apapun: mungkin karena sejak meninggalkan Combray, aku telah sering melihatnya, tanpa memakannya, di rak toko-toko kue, sehingga citra kue itu telah mengingatkan pada hal yang lain; atau barangkali ingatan akan kue tersebut telah tersimpan jauh diluar jangkauan ingatanku dan tidak ada lagi yang tersisa; menjadikan citra bentuk kerang dan juga kue berbentuk kerang telah hilang kekuatannya, atau telah menjadi setengah tidur, dan tidak sanggup lagi muncul dalam kesadaranku.

Minum teh dengan madeleine ini kemudian membangkitkan semua ingatan si Pencerita tentang Combray, tempat yang sering dikunjunginya sewaktu kecil, dan ingatan yang baru muncul tersebut kemudian memulai semua cerita dan peristiwa dalam seluruh jilid ISOLT.

And as soon as I had recognized the taste of the piece of madeleine dipped in lime-blossom tea that my aunt used to give me (though I did not yet know and had to put off to much later discovery this this memory made me so happy), immediately the old gray house on the street, where her bedroom was, came like a stage set to attach itself to the little wing opening onto the garden that had been built for my parents behind it (that truncated section which was all I had seen before then); and with the house the town, from morning to night and in all weathers, the Square, where they sent me before lunch, the streets where I went on errands, the paths we took if the weather was fine. And as in that game enjoyed by the Japanese in which they fill a porcelain bowl with water and steep in it little pieces of paper until then indistinct which, the moment they are immersed, stretch and twist, assume colors and distinctive shapes, become flowers, houses, human figures, firm and recognizable, so now all the flowers in our garden and in M. Swann’s park, and the water lilies of the Vivonne, and the good people of the village and their little dwellings and the church and all of Combray and its surroundings, all of this which is acquiring form and solidity, emerged, town and gardens alike, from my cup of tea.

Begitu aku mengenali rasa madeleine yang dicelup ke dalam teh bunga jeruk seperti yang biasa disuguhkan bibiku (meski aku masih belum tahu dan harus menunggu sampai nanti untuk mengetahui penyebab mengapa rasa teh itu membuatku senang), rumah abu-abu dimana kamar bibiku berada segera muncul seolah-olah menjadi panggung yang berdempetan dengan sayap bangunan di depan taman yang ditempati orangtuaku (hanya bagian itu yang terlihat olehku pada saat itu); rumah tersebut muncul berikut dengan kota, dari pagi sampai malam dan di segala cuaca, the Square, tempat aku pergi sebelum makan siang, jalan-jalan yang aku tempuh ketika aku disuruh membeli sesuatu, jalur jalan kaki kalau cuaca sedang bagus. Seperti sebuah permainan di Jepang, dimana dalam sebuah mangkok porselen berisi air, kepingan kertas yang tidak berbentuk dicelupkan, dan seketika kepingan tersebut menggeliat, memanjang dan memilin, berubah warna dan kemudian berubah bentuk menjadi bunga, rumah, orang, dengan jelas dan padat, begitu juga bunga-bunga di taman kami dan di taman Mr. Swann, teratai di Vivonne, masyarakat dan pemukimannya di Combray beserta gereja dan sekitarnya muncul secara jelas, hanya dari secangkir tehku.

Dengan ini bagian Combray 1 berakhir dan Combray 2 dimulai dan seterusnya.

Kedua jenis ingatan terpendam yang digambarkan atau diceritakan dalam Combray 1, yaitu ingatan terpendam yang muncul sebagai mimpi dalam tidur atau muncul pada saat setengah tidur setengah terjaga dan ingatan terpendam yang dipicu oleh kejadian khusus ini menjadi tonggak dasar dari tuturan novel ISOLT, dan digunakan dalam berbagai peristiwa dalam berbagai bentuk dan diperkaya dengan beberapa tema lainnya, seiring dengan berkembangnya cerita, mulai dari yang sederhana atau kecil sampai peristiwa besar yang dampaknya, disadari atau tidak, bisa mengubah nasib seseorang yang mengalaminya.

Pada buku jilid 1, Swann’s Way, peristiwa sederhana itu misalnya adalah ketika si Pencerita mengingat kebiasaannya sewaktu kecil yang selalu menunggu ibunya datang untuk memberikan ciuman selamat malam setiap menjelang tidur. Tetapi pada suatu malam, si Pencerita kecil sangat kecewa karena sang ibu tidak bisa datang menemani karena saat itu orangtuanya sedang dikunjungi tamu.

Peristiwa yang lebih besar yang terkait dengan ciuman selamat malam dari ibunya adalah mengenai kisah cinta Mr. Swann dengan seorang wanita bernama Odette. Si Pencerita tertarik dengan kisah cinta ini, yang didengarnya dari orang lain, salah satunya karena, Mr. Swann-lah yang menyebabkan ibunya tidak bisa datang ke kamarnya karena malam itu Mr. Swann berkunjung ke rumah mereka.

Mr. Swann kemudian menjadi tokoh penting dalam hidupnya karena ketika si Pencerita tumbuh remaja, dia jatuh cinta dengan anak perempuan Mr. Swann, Gilberte. Dalam ingatannya, kisah cintanya dengan Gilberte menjadi seperti semacam cerminan kisah cinta Mr. Swann dengan Odette. Dan lebih jauh, meskipun kejadian pemicunya sangat berbeda, perasaan kecewa yang dialami Mr. Swann dengan Odette di awal hubungan mereka, dirasakan juga sebagai cerminan perasaan kecewa si Pencerita kecil ketika mendapati ibunya tidak datang ke kamarnya untuk memberikan ciuman pengantar tidur.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »