Iwan Simatupang lahir di Sibolga, Sumatera Utara pada 18 Januari 1928 dan meninggal 4 Agustus 1970 di Jakarta. Tahun 1949 pernah menjadi komandan pasukan TRIP di Sumatera Utara, tahun 1950-1953 bekerja sebagai guru di Surabaya. Tahun 1977 Iwan Simatupang menerima Hadiah Sastra ASEAN. Dramanya: Bulan Bujur Sangkar (1957), Taman (1958), RT Nol/RW Nol (1966), Petang di Taman (1966) dan Cactus dan Kemerdekaan (1969). Novelnya: Merahnya Merah (1968), Ziarah (1969), dan Kering (1972). Cerpen-cerpennya dibukukan oleh Dami N. Toda dengan judul Tegak Lurus denga Langit (1982).
Merah Jambu Di Melati
Kepada Sitor Situmorang
Ada darah tiris
Dari hati atas melati
Satu satu
Ada melati tumbuh
Diciuman segara dengan gurun
Jauh jauh
Darah beku
Melati layu
Tapal sayu
Ada murai atas cactus
Ada cactus dalam hati
Ada kicau berduri
Sunyi sunyi
Bintang tak Bermalam
(nocturne untuk Nany Jasodiningrat)
Bertengger atas risau lembayung
Bintang tak tahu
Ke mana pijar hendak dipenjar
(Siang telah reguk segala warna
Bahkan kelam
Tak lagi bagi malam)
Dan pada pelangi
(Yang hanya di siang)
Tak ada berwakil
Warna bintang jatuh
Cerita buat Bayu Suseno, bayi Bu Tono
Jauh di pulau
ada seorang lanun
penguasa dari suatu selat
tak berbatas tak bertepi
tak bernama tak bersebut
Ia tuan tak bernobat
dari daerah tak berpunya
di mana kesunyian dan kegemuruhan
bersipongah dalam suatu kisah
tak berawal tak berakhir
Siap dekat siapa rapat
tujuh kali tiarap ditimba ruang
siapa lupa siapa alpa
nakhoda, pala dan janda-janda
kena angin pusaran
atau pitam
Ia panglima dari suatu pasukan
tak berbilang tak bernegeri
ia sekutu dari segala hantu
datu badai pengasuh pelangi
Ia berasal dari pegunungan
dari puncak mengabut selalu
- di mana jurang, tebing dan bukit
berkisah seharian dalam sepi menggelepar
tentang bayang mengejar sinar
tentang redup memagut cuaca
- di mana air terjun dari tinggi menjulang
menghempas diri dalam suatu hisak
tentang titik yang demi titik
tiada jemu cari butir perhentian
- di mana bulbul sayu berseru
menghari siamang sepi kerinduan
dan angin lautan swara-swara
di suatu swarga tiada bidari
Ah, ini semua ia telah tinggalkan
ketika ia pada suatu hari
dapati orang pantai depan pintunya
bawa kabar:
“Ibumu tiada akan pulang lagi, kawan,
ia telah dibawa pergi oleh orang-orang
datang merompak ke pekan nelayan
dan bawa segala gadis dan janda
dalam kapal layar berpanji hitam
berlambang tengkorak”
Sejak itu –
ia telah tempuh
jalan curam menungging pantai
yang ia selama ini hanya pandangi
bila ia terdiri curam atas tebing menghunjam
memagut sinar-sinar terakhir
dari mentari membenam diri
- yang ia selama ini tiada berani jalani
takut bertemu bota-bota
dari dongeng-dongeng ibunya
Sejak itu –
ia telah tinggalkan puncak kelabu
dan pergi ke laut lepas
segala selat ia telah harungi
segala teluk ia telah masuki
segala nakhoda ia telah tanya
segala nelayan ia telah sapa
tiada berita
tiada ibu
Sejak itu –
ia telah tetapkan
menjadi pencari larut
dari suatu pencarian tak berkedapatan
dalam suatu bumi tak bermentari
- menjadi pelalu sunyi
dari suatu jalan tak berkeakhiran
dalam suatu gurun tak berkelengangan
Sejak itu –
ia telah putuskan
jadi ahli waris dari
ayah tiri yang ia tak kenal
pembawa lari ibunya dari pantai
dalam kapal layar berpanji hitam
berlambang tengkorak
Jauh di pulau
ada seorang lanun
anak orang utas di pegunungan
pencari kesunyian dalam kegemuruhan
pencari kegemuruhan dalam kesunyian
Pada Kepergian Bersama Angin
buat murid-muridku di Surabaya
Irama dari bahaya dan bencana
Lagi-lagi gentayangan dari jauhan
Ah, mengapa panji tak kuangkat saja kembali
Dan
Berlari jingkat telanjang bulat ke muka
Dengan tembilang
Memupus segala jejak di belakang?
Usah duga
Mana tugu ujung segala pencarian
Hanya
: Bila pelangi cerlangi dinihari pekat
Dan asap berkepul hijau dari bintang-gerhana –
Datang, datanglah kau
Ziarahi aku dalam bayang terkulai
Dari tiang gantungan atas piala racun tercecer...
Dan aku
Akan ziarahi semua
Penziarah
Dengan senyum –
Seribu-kiamat
-Sumber: Ziarah Malam, sajak-sajak 1952-1967, Iwan Simatupang, Jakarta, Grasindo, 1993