Sajak-Sajak Pilihan Saini K.M.

@kontributor 3/08/2020
SAINI KM






KEPADA PEREMPUAN YANG SEDANG TIDUR

Mawar bibirmu, sejauh dahaga tubuh, menyejukkan
dengan madu gaibnya. Namun kita kembali berpisah.
Dan walaupun masih berdekapan, saya seorang diri
mengembara di seberang batas tidur-nyenyakmu.

Dihimbau cinta yang lain, yang tak kaumengerti
tapi kaucemburui, lelaki kembali pada dunia
pada sejarah. Ingin kukatakan padamu, wanitaku
bahwa atas bantal pahamu saya akan tetap bermimpi

tentang kehidupan di luar teduh alismu. Gelisah
antara mulut meriam yang memuntahkan kebencian
dan mulut kanak-kanak yang tak henti-hentinya
menyanyikan masa depan
di pelosok bumi yang tak tercapai oleh wangi rambutmu.

1969

SELAIN CAHAYA MATAMU

Saya tidak punya apa-apa lagi, selain cahaya matamu
memandang pada nasibku. Nabi-nabi lahir dan disalib
dalam riwayat hidup kita yang sudah beribu tahun:
tinggal luka mereka, abadi berdenyut di daging kita.

Saya tak punya pegangan lain, kecuali kedua tanganmu
terulur dalam kabut menangkap gapai tanganku,
ketika impian remaja diberi sayap, ketika langit mawar
dikembangkan, berbareng dengan bangkitnya penjara-penjara

bagi roh kita. Di masa percobaan dan penyucian ini, kawanku
janganlah berpaling dari sunyiku. Lihatlah ke dalam mataku
seperti kutatap matamu jernih: jendela-jendela kaca
tempat kita menjenguk kamar kita masing-masing di dalamnya.

1969


ZIARAH I

Ada duka yang tak pernah lipur
dan berdarah lagi dengan ingatan.
"Tabahkanlah," kata mereka. Ketabahan,
bertahun ketabahan kausaji, hatiku.

Ada rindu yang tak menemu ujung,
mengembara saja bersama angin.
"Istirahatlah hatimu," kata mereka. Hatiku,
tiada bantal dapat memberimu tidur.

Junjunganku, ajar saya memfirasati nestapa,
bahwa durinya hanya menyayat alas kasutku,
yang kutanggal saat ketemukan kuilmu:
Rumah yang kumasuki dengan telanjang kaki.

1974

PIDATO

Terimalah hati penyair, betapapun pucat dan gemetar pun ia
Rabalah dengan telapak perasaan dan kenalilah dalamnya
denyut demi denyut cintamu yang habis-habisan berjuang
melawan kebencian, keangkuhan, khianat dan dengki.

Air mata dan empedu dendam yang diam-diam kaujatuhkan
ke dalam kalbu
akan meluap hingga tenggorokan dan menenggelamkan jiwa
Dengarlah suara hati nuranimu yang mengepakkan sayap
pada kata-kata penyair, menemukan kembali saudara-
saudaramu yang hilang.

Wahai, kaum yang diceraikan oleh kepicikan dan wasangka
tak ada tempat bertemu bagi kalian selain di dalam sajak
: sebuah hati, betapa pucat dan tercincang pun ia
adalah milikmu. Reguklah harapan dari nganga lukanya.

1965

SANG PENYAIR

Sepi telah memanggilku untuk mengembara
di batas kini dan nanti, malam dan pagi;
mendengar bintang bernyanyi, bulan bermimpi.
Sunyi memanggilku berangkat seorang diri:

Melintas cakrawala dan masuk ke negeri asing
untuk menabur kata dari kandungan kalbu:
Benih-benih pengalaman berkecambah dalam gelap
di seberang fajar, wilayah belum berkabar.

Hening membuka ruang serba makna
yang lenyap dari hingar dunia;
bagai titik embun yang mengendap di udara
setetes demi setetes jatuh menyegarkan rohmu.

1987-1989



BAGI SEBUAH SAJAK

Anak dari segala duka, dengan nama apakah
akan kutandai kehadiranmu yang besar
Suara semesta suara, tiadalah arti bagimu
suatu bisik, sebuah nama, sepatah kata sunyi.

Dari kesumat dan kasih, berbapakkan hari
beribu malam-malam jagaku, kau pun menjelma
di luar batas waktu, di luar abad demi abad
yang dijelang dan bertolak pergi.

Keturunan cinta bumi dan langit
engkaulah buah perkawinan derita dan harap terhnggi
Barangkali seorang dewa yang jauh dilupa
menciptakan hati penyair sebagai sebuah rahim
lalu menghamilkannya: dengan gairah suci.
Dan dengan hidupmu yang tidak bernyawa
kau pun abadi, lahir seperti seorang dewa.

1962


-Sumber: Nyanyian Tanah Air, Saini KM, Jakarta, Grasindo, 2000

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »